Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik

APSC dan Ketahanan Regional Asia Tenggara

6 Januari 2018   19:53 Diperbarui: 6 Januari 2018   20:22 3087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun ketika muncul realitas berupa tantangan dalam bentuk konflik Laut China Selatan yang sudah lama berlarut-larut, APSC seolah tidak berguna dan terkulai sebelum perang justru di gelanggang pertempuran tepat di depan matanya sendiri, dalam kawasan yang setidaknya meliputi empat negara Asia Tenggara. 

Padahal jika merujuk pada International Hydrographic Organization (IHO) mengenai batas-batas Samudera and Laut, edisi ketiga (1953), maka muka bumi berbentuk perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi yang bernama Laut China Selatan berbatasan di sebelah selatan dengan Tiongkok; di timur dengan Vietnam; di barat dengan Filipina. 

Sementara di sebelah timurnya dengan semenanjung Malaya dan Sumatra, hingga ke Selat Singapura di bagian baratnya, di utara Kepulauan Bangka-Belitung dan Kalimantan, Indonesia; serta di utara dan timurnya dengan Kepulauan Natuna, Indonesia. Konflik ini melibatkan klaim yang tumpang-tindih antara Tiongkok, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Brunei, dan Filipina.

Di satu pihak, Filipina dengan penuh percaya diri melangkahkan kaki kenegaraannya dalam one-man-showdiplomasi internasional dan terkesan tanpa melibatkan Komunitas ASEAN melalui APSC. 

Alih-alih menghargai skema kerjasama regional Komunitas Keamanan Politik ASEAN, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memilih menempuh jalan sendiri tanpa memberikan peluang berembuk untuk Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc, PM Malaysia Najib Razak, Sultan Hassanal Bolkiah, dan Presiden Indonesia Joko Widodo.

Sejatinya langkah-langkah diplomatik di bidang hukum laut internasional yang dijalankan Filipina ke tingkat dunia baru dimulai sejak Januari 2013, di saat mana APSC telah diadopsi kendati belum ditetapkan. 


Di saat itu pula Filipina secara resmi memprakarsai proses arbitrase melawan klaim Tiongkok terhadap wilayah-wilayah dalam "Jalur Sembilan Titik Putus-putus" yang mencakup Kepulauan Spratly, yang menurutnya melanggar hukum berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Pada 12 Juli 2016, majelis arbitrase mendukung Filipina, dengan mengatakan tidak ada bukti bahwa Tiongkok secara historis telah melakukan kontrol eksklusif atas perairan atau sumber daya, maka "tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim hak-hak bersejarah" dalam jalur sembilan garis putus-putus. 

Pengadilan tersebut juga mengkritik proyek reklamasi Tiongkok dan pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly, seraya mengatakan bahwa hal itu telah menyebabkan "kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang".

Menurut hemat kami, pada titik ini APSC dapat memainkan peran lebih besar, yakni mengambil alih medan konflik Laut China Selatan demi menyudahi masalah yang berkepanjangan selama ini. 

Perlu secara serius dicermati bahwa Tiongkok mengklaim wilayah di laut yang secara geografis lebih dekat kepada keempat negara Asia Tenggara ini kemungkinan besar lantaran laut tersebut menyandang nama "China". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun