Mohon tunggu...
Boy Anugerah
Boy Anugerah Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Pendiri dan Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasionalisme Indonesia Dulu dan Kini

9 Desember 2017   23:49 Diperbarui: 9 Desember 2017   23:53 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MENYONGSONG 100 tahun kemerdekaan Indonesia, konsep nasionalisme ramai dikaji. Nasionalisme dianggap sebagai roh yang menentukan kemajuan bangsa. Upaya mendudukkan kembali nasionalisme pada posisi yang tepat menjadi kata kunci. Nasionalisme perlu diredefinisi sesuai konteks kekinian agar tidak menjadi jargon belaka. Kemerdekaan Indonesia 70 tahun silam merupakan produk nasionalisme para pejuang kemerdekaan. 

Mereka merefleksikannya dengan mengangkat senjata melawan penjajah, juga berdiplomasi secara piawai di panggung internasional untuk mendapatkan dukungan negara lain.

Muara perjuangan mereka satu, yakni kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme yang mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan tidaklah sama dengan nasionalisme yang muncul di Eropa. Nasionalisme Indonesia merupakan kristalisasi keinginan bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka, dibungkus perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa tertindas. Bung Karno menyebut nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme Timur yang berbeda dengan nasionalisme Barat.

Nasionalisme Barat merupakan produk masyarakat peralihan, dari agraris ke industri. Sebagai negara industri baru, mereka membutuhkan eksistensi dan logistik untuk mendukung kepentingan nasional. Oleh sebab itu, penjajahan menjadi metode yang dipilih. Ratusan tahun Indonesia dibelenggu penjajahan, menjadi sisi gelap nasionalisme dengan pemahaman yang berbeda.

Pergeseran makna

Penting bagi bangsa Indonesia saat ini untuk duduk sejenak merenung, mengapa mantra nasionalisme pada awal kemerdekaan begitu ampuh mengantarkan Indonesia kepada tujuannya. Bahkan setelah kemerdekaan, nasionalisme kembali menjadi mantra sakti yang menyatukan segenap perbedaan untuk bergerak bersama mengisi pembangunan. 

Seperti kunci bertemu dengan gemboknya, nasionalisme Indonesia pada masa kemerdekaan berada pada posisi tepat, bahkan menjadi antitesis Nasionalisme Barat yang keliru. Pertama, nasionalisme Indonesia dibungkus perasaan tertindas sebagai bangsa terjajah. Suka tidak suka, perasaan tersebut mampu mengeliminasi segenap perbedaan menjadi kekuatan dahsyat untuk mengusir penjajah.

Kedua, keinginan hidup bersama dalam tatanan yang lebih teratur secara sosial dan politik merupakan modal dasar diperjuangkannya bentuk negara merdeka dan berdaulat. Ketiga, nasionalisme Indonesia bergelora begitu dahsyat karena memiliki musuh bersama, yakni kaum penjajah. Menjelang usianya yang ke-71 tahun, konteks nasionalisme Indonesia mengalami pergeseran makna. Pergeseran ini mensyaratkan bahwa metode yang dipilih tidak sama dengan sebelumnya.

Dari sisi politik, sistem pemerintahan belum mampu mewujudkan cita-cita masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Parpol sebagai mesin demokrasi masih terbelenggu oleh kepentingan oligarki. Tak mengherankan jika produknya ialah pemimpin yang belum bisa memenuhi kebutuhan rakyat. Korupsi menjadi agama baru yang semakin masif pemeluknya, dari birokrat hingga parlemen, kelas teri hingga kelas kakap.

Dari sisi sosial budaya, generasi muda lebih piawai menyanyikan musik ngak-ngik-ngok (mengutip istilah Bung Karno) ketimbang lagu nasional. Ruang publik juga bergeser dari taman kota ke mal yang begitu menggoda syahwat konsumerisme. Nasionalisme Indonesia semakin sulit menemukan bentuk idealnya jika dikaitkan dengan tata politik internasional saat ini. 

Pasca runtuhnya Uni Soviet pada dekade 1990-an, dunia bergerak dari sistem bipolar menjadi multipolar. Negara-negara menjadi interdependen satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri. Perubahan besar kembali terjadi ketika fenomena globalisasi yang dicirikan dengan kemudahan di bidang komunikasi dan informasi semakin menihilkan batas-batas negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun