Belajar merupakan aktivitas yang tidak akan pernah terpisahkan dari kehidupan seorang pelajar. Meski begitu, pembelajaran akademis tidak cukup untuk membentuk generasi muda yang berkarakter. Dibutuhkan juga sikap untuk terus belajar. Menanggapi hal tersebut, Kolese Kanisius menyediakan ruang berupa CC Cup XL 2025.
    Seorang pelajar tidak akan pernah terlepas dari dinamika pokok kehidupannya, yaitu belajar. Ibarat dua sejoli yang tidak terpisahkan, begitulah seyogianya hubungan antara pelajar dan aktivitas pembelajaran. Bahkan, KBBI menegaskan bahwa pelajar merupakan "orang yang belajar". Pembelajaran memang aspek terpenting untuk mengembangkan setiap individu. Melalui pembelajaran, setiap individu memperoleh pondasi beserta perangkat-perangkat yang berguna untuk menunjang kehidupannya di masa depan. Tidak hanya itu, melalui pembelajaran, mereka juga dibentuk untuk menjadi generasi yang terlibat aktif menanggapi kebutuhan masyarakatnya. Kesadaran akan hal tersebut mendorong berbagai institusi pendidikan di seluruh dunia untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis pembelajaran. Setidaknya dalam lima hari seminggu, pelajar diwajibkan untuk hadir di kelas tepat waktu guna mempelajari berbagai bidang pengetahuan maupun keterampilan. Selain itu, mereka juga ditanamkan nilai-nilai karakter sebagai bekal agar dapat diterima oleh masyarakat. Semua hal tersebut kemudian diujikan setiap akhir pembelajaran sebagai evaluasi terhadap pemahaman pelajar.
    Namun, apa arti semua itu jika pembelajaran hanya berhenti di kelas? Terdapat sebuah adagium dalam bahasa Latin yang masih populer hingga hari ini, berbunyi non scholae sed vitae discimus. Adagium tersebut memiliki arti kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup. Ungkapan tersebut menjadi cermin pendidikan yang seharusnya dilaksanakan. Di tengah perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang secara pesat. Ditambah lagi masyarakat semakin sadar akan pentingnya pendidikan karakter. Sebab, ilmu pengetahuan yang tidak ditunjang dengan pendidikan karakter menyebabkan sifat destruktif, bukannya mendukung kemajuan peradaban. Selain itu, kurangnya pendidikan karakter menyebabkan pelajar kurang dapat memenuhi standar norma maupun etika yang ditetapkan masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pelajar sebagai generasi muda rentan kurang dapat diterima oleh masyarakat umum
    Maka dari itu, semangat belajar berkelanjutan harus ditanamkan sejak dini dalam diri para pelajar. Melalui semangat tersebut, para pelajar diharapkan dapat menjadi lifelong learner atau pembelajar seumur hidup. Sikap tersebut sangat penting guna mengembangkan kemampuan adaptasi di tengah dunia yang terus berkembang. Pada kenyataannya, tidak semua pengetahuan yang esensial diberikan melalui pembelajaran klasikal di kelas. Nyatanya, ada banyak keterampilan nonteknis dan karakter yang justru semakin terasah di dalam pengalaman sosial maupun sehari-hari. Misal, untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan, seseorang tidak cukup mempelajari teori secara tekstual saja. Agar dapat berkembang, ia juga harus mempraktikkan teori tersebut secara nyata melalui aktivitas di luar kelas, seperti bergabung dengan kepanitiaan suatu kegiatan atau menjadi koordinator dari sebuah organisasi. Dengan itu, orang yang melakukan hal tersebut akan mempelajari keterampilan-keterampilan nonteknis yang ia butuhkan untuk kehidupannya secara holistik; sebuah ciri dari seorang lifelong learner. Oleh sebab itu, pembelajaran nonakademis menjadi sebuah kebutuhan penting untuk mempersiapkan para pelajar dengan semangat mau terus belajar sepanjang hidup. Â
Non scholae sed vitae discimus. Pembelajaran tidak cukup berhenti di kelas, tetapi harus terus berlanjut hingga akhir hayat.
    Dalam upaya menjawab tantangan tersebut, Kolese Kanisius secara aktif melibatkan siswa-siswanya melalui berbagai kegiatan formasi. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan baru-baru ini adalah Canisius College Cup XL 2025. Dalam perjalanannya, Kolese Kanisius sudah menyelenggarakan CC Cup sebanyak 40 kali. Dengan mengangkat tema A Beautiful This is Never Perfect, Kolese Kanisius menyediakan wadah bagi pelajar se-jabodetabek untuk menyalurkan bakat dan minat di bidangnya masing-masing melalui serangkaian pertandingan pada perhelatan tahun ini. Seperti biasanya, ajang tahunan ini tidak pernah sepi dari partisipasi peserta lomba. Tercatat sebanyak lebih dari 240 sekolah, baik SMA maupun SMP, diundang untuk bergabung dalam 20 cabang perlombaan, baik itu olahraga maupun nonolahraga.
    Untuk mendukung berjalannya kegiatan ini, Kolese Kanisius melibatkan seluruh elemennya, dimulai dari guru, siswa, karyawan, hingga pihak eksternal, untuk menjamin kelancaran penyelenggaran CC Cup XL 2025. Terhadap siswa, Kolese Kanisius mewajibkan mereka untuk terlibat aktif dalam berbagai divisi kepanitiaan. Mereka tidak sendiri dalam menjalankan tugasnya. Dimulai dari guru, karyawan, hingga koordinator bidang berkolaborasi bersama dengan para panitia untuk melaksanakan fungsi kepanitiaan. Sementara guru maupun koordinator memberi arahan berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan, para panitia menyumbangkan ide dan pendapat sekiranya terdapat masalah dalam suatu seksi. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan antarbagian kepanitiaan menjadi lebih kompak dalam menjalankan tugasnya.
   Di berbagai cabang perlombaan, semua pihak yang terlibat, baik itu panitia maupun peserta lomba, berusaha memberikan yang terbaik di dalam bidangnya. Salah satu cabang perlombaan yang menampakkan hal tersebut secara jelas adalah catur. Sebagai permainan yang mengutamakan strategi, catur kerap kali dianggap sebagai ajang perlombaan yang sunyi. Sebab, permainan ini membutuhkan fokus tingkat tinggi sehingga sedikit suara bising saja dapat mengganggu jalannya pertandingan. Namun, di balik keseriusannya, terdapat momen-momen cair yang membuat suasana ruangan menjadi hangat. Bahkan, momen-momen tersebut berkontribusi dalam mewujudkan pembelajaran berkelanjutan.
    Sebagai anggota seksi catur, jujur saja penulis tidak mengetahui seluk beluk permainan tersebut secara mendalam. Harus diakui bahwa penulis selalu kalah dalam permainan tersebut karena kurangnya pemahaman akan strategi. Namun, ternyata tidak hanya penulis yang mengalami hal tersebut. Terdapat banyak rekan penulis yang juga belum memahami permainan catur. Bahkan, saking tidak familiar dengan permainan ini, kami kesulitan untuk menyetel jam catur. Hal tersebut membuat penulis awalnya ragu mengenai keberhasilannya dalam berpartisipasi mendukung keberlangsungan perlombaan catur.
    Meski begitu, ternyata kepanitiaan berjalan berlawanan dengan bayangan awal penulis. Penulis tetap dapat berpartisipasi dan berkolaborasi secara aktif di dalam seksi catur. Hal tersebut didukung oleh koordinator yang selalu memberi arahan tentang pengaturan kegiatan perlombaan. Saat gladi kotor, koordinator menunjukkan rancangan pengaturan meja pertandingan. Hal tersebut mempermudah panitia untuk mengatur tata letak ruang perlombaan. Tidak hanya itu, panitia juga dapat sedikit demi sedikit mengerti elemen permainan catur berkat koordinator yang memahami ketidaktahuan panitia akan konsep pertandingan tersebut. Kesadaran akan hal tersebut mendorong koordinator untuk mengajari panitia cara mempersiapkan pertandingan catur. Dimulai dari cara menyusun bidak hingga menyetel jam catur, koordinator mengajari anggota-anggotanya secara sabar hingga mereka semua paham. Tidak hanya itu, koordinator juga memastikan para panitia tetap mendapat informasi mengenai pertandingan melalui grup Whatsapp.Â