Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Santri Perjuangan dan Santri Milenial untuk Indonesia

28 November 2017   17:37 Diperbarui: 28 November 2017   19:04 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Achmad Zayadi (Direktur PD-Pontren Kemenag RI) saat melayani sesi tanya jawab dengan Kompasianersfoto: dokpri

Agama memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sila pertama Pancasila menegaskan tentang fakta tersebut, Ketuhanan yang Maha Esa. Faktor agama di Indonesia dapat menjadi pemersatu, namun kadang menjadi hal sensitif yang dapat menyinggung suatu kalangan dalam masyarakat. Salah satu contoh betapa dahsyatnya kekuatan agama terjadi saat Fatwa Jihad pada 17 September 2017. Fatwa tersebut dikeluarkan, karena Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno memohon fatwa hukum untuk mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.

Kekuatan agama dalam kehidupan rakyat Indonesia disadari oleh Bung Karno. Untuk mencegah kembalinya pasukan Belanda, Bung Karno memohon fatwa hukum agar rakyat Indonesia siap membela tanah air hingga titik darah penghabisan. Tepat 17 September 1945 Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fisabilillah. Berkat fatwa tersebut, maka rakyat mudah dimobilisasi berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Dilandasi oleh fatwa tersebut membuat rakyat semakin berani untuk siap mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan.

Kompasianers sebelum Coverage IIEE 2017 Foto: admin Kompasiana
Kompasianers sebelum Coverage IIEE 2017 Foto: admin Kompasiana
Santri dan Perjuangan

Betapa pentingnya faktor agama sebagai salah satu daya penggerak. Fatwa (19 September 1945) dan Resolusi Jihad (22 Oktober 1945) dari NU mampu menjadi pembakar semangat rakyat untuk rela berjuang, bahkan siap mati membela tanah air dan mengusir penjajah yang hendak kembali lagi. Resolusi Jihad berisi bahwa hukum membela tanah air adalah fardhu ain bagi setiap umat Islam di Indonesia. Selain itu, Resolusi Jihad juga menegaskan bahwa muslimin yang berada dalam radius 94 kilometer dari pusat pertempuran wajib ikut berperang melawan Belanda.

Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya tidak dapat dipisahkan dari Resolusi Jihad. Dua minggu setelah Resolusi Jihad tersebut terjadilah pertempuran 10 November 1945. Berkat Resolusi Jihad, rakyat Surabaya penuh semangat dan siap bertaruh nyawa untuk melawan penjajah Belanda. Resolusi Jihad lahir kala Rais Akbar NU, Hasyim Ashari memanggil konsul NU se-Jawa dan Madura untuk rapat besar pada 21 dan 22 Oktober 1945. Kekuatan Resolusi Jihad sebagai penggerak bagi rakyat kala itu, karena dipengaruhi budaya santri. NU dengan dukungan pondok pesantren yang tersebar hingga ke pelosok pedesaan mampu mengelorakan pesan Resolusi Jihad tersebut.

Dalam budaya pondok pesantren masih terdapat sebagian besar masyarakat muslim Indonesia yang menganggap pondok pesantren dengan kyainya sebagai acuan utama dalam kehidupan keberagamaan maupun kemasyarakatan. Maka kala lahir Resolusi Jihad masyarakat dengan sukarela berjuang hingga titik darah penghabisan, para santri dan pemuda berjuang dalam barisan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sedangkan, para kiai berada di barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh KH. Wahab Abdullah.

Agama dalam kehidupan rakyat Indonesia sungguh menjadi pegangan. Tepat sekali sila pertama dalam Pancasila menyatakan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa. Landasan keimanan atau keberagamaan menempati posisi pertama dari semua hal penting dalam konteks kehidupan rakyat Indonesia.

Contoh Fatwa dan Resolusi Jihad NU mengambarkan bahwa agama tidak bertentangan dengan nasionalisme, bahkan agama bisa menjadi perekat bangsa dan menciptakan solidaritas yang kuat antar warga dalam memperjuangkan agenda bangsa atau agenda yang memaslahatkan umat.

Santri Zaman Now

 Pencapaian pondok pesantren dalam mewarnai kehidupan bangsa Indonesia hingga kini tetap kemilau. Untuk menginformasikan beragam pencapaian dalam konteks kekinian, maka digelarlah Pameran Pendidikan Islam Internasional (International Islamic Education Exhibition). Pameran IIEE berlangsung dari 21 -- 24 November 2017 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang. Pameran yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI menyuguhkan beragam pencapaian pendidikan diniyah dan pondok pesantren.

Dalam Kompasiana Coverage di ajang IIEE, para Kompasianers meliput dengan fokus stan pondok pesantren (pontren). Penulis berdecak kagum dengan beragam hal yang dipamerkan dalam stan-stan pontren. Pontren sungguh adaptif dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi. Dalam pameran tersebut, penulis dibukakan pengetahuannya bahwa santri milenial sungguh sudah berbeda dengan pemahaman yang pernah diungkapkan oleh antropolog Clifford Geertz. Ia menjelaskan makna santri masih dalam konteks sempit, yakni sebagai seorang pelajar sekolah agama yang bermukim di suatu pondok. Selain pemaknaan santri yang masih dalam konteks sempit, terdapat penjelasan yang diperluas tentang makna santri dari KH. Mustofa Bisri, mantan Rais 'Aam PBNU, yakni santri bukan mereka yang mondok saja, tapi siapa pun yang berakhlak seperti santri, dialah santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun