Mohon tunggu...
Boe Berkelana
Boe Berkelana Mohon Tunggu... lainnya -

Pejalan. Menetap di Labuan Bajo-Flores, NTT

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kapal Manusia

20 Mei 2015   21:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:46 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu malam di pertengahan bulan Juli.
Lewat tengah malam. Di tengah lautan luas. Di atas sebuah kapal Pelayaran milik negara. Di teras dek lima, lambung kanan kapal.

***
Dingin membangunkan tidurku. Angin laut berhembus kasar kali ini. Membawa dingin segala rupa, seolah menghimpun dedinginan seluruh semesta lalu ditumpahkan di teras kapal ini. Lalu mengganggu tidurku.

Dalam keheningan, Kapal berjalan membelah lautan. Air lautan gemuruh dalam sunyi samudra luas. Di cakrawala, bintang-gemintang gemerlap jumawa. Satu dua membentuk senyum. Lalu tertutup awan. Langit malam ini cerah. Langit khas pertengahan kemarau. Kulirik arloji Eager-ku. 1:30 AM. Lebih dari sepuluh jam sudah Kapal ini meninggalkan pelabuhan Ujung Pandang. Dan kurang dari sepuluh jam lagi akan berlabuh di pelabuhan Labuan Bajo, ujung barat Pulau Flores, pelabuhan pertama yang akan disinggahinya. Sebelum ia menyinggahi Sumbawa, Lombok, lalu Bali secara berturut-turut. Berarti sudah setengah perjalanan. Tepat ditengah samudra. Antara satu kaki huruf ‘K’ dari gambar Pulau Sulawesi dan gugusan kepulauan Bali dan Nusa Tenggarai; Bali-Lombok-Sumbawa-Flores yang membentang sejajar.

Aku duduk. Menarik kedua lututku juga sarung yang kupakai hingga menutup kepala kecuali wajah. Duduk bersandar di dinding kapal, kedua tanganku memeluk lutut. Angin laut menempeleng wajah. Dingin segala rupa. Kuedarkan pandangan. Sekian puluh meter ke samping kiri arah mulut kapal, sekian puluh meter ke samping kanan arah pantat kapal. Sungguh padat penumpang. Ada yang tidur dan duduk beralaskan karpet bekas karung semen yang dibeli di daratan atau matraks bawa sendiri. Ada yang tidur berselimut namun tak sedikit yang hanya berselimut pakaian di tubuh. Tidur membentuk lipatan, melawan kedinginan. Sungguh kapal manusia.

Ini kelas ekonomi. Kasta terbawah dari segala pengelasan dalam apapun. Di Kapal laut, di Pesawat terbang, juga dalam pelayanan kesehatan Negara, walaun dengan nama dan penyebutan yang berbeda.
Di Kapal ini sendiri, diatas kelas ekonomi, ada kelas tiga, kelas dua, lalu kelas satu. Kelas tiga dan kelas dua berupa kamar dengan empat ranjang tidur. Kelas satu berupa kamar dengan dua ranjang tidur.

Kelas ekonomi serupa lapangan bola yang diberi ranjang tidur dengan jumlah tak terbatas. Dari dek satu paling bawah dekat mesin bertingkat hingga dek enam. Jika ranjang-ranjang didalam kapal full, ada teras-teras luar kapal tiap dek. Kecuali dek satu, dua, dan tiga. Dek empat hingga enam ada teras luar. Tersedia beberapa bangku kayu panjang tempat duduk. Sejatinya ini hanya tempat menghirup udara segar bila pengap didalam. Tempat memandang lautan, menghitung lumba-lumba yang melompat di kejauhan, dan tempat befoto-foto.

Namun jika musim padat penumpang seperti pelayaran kali ini, teras-teras luar menjadi ranjang bebas bagi penumpang yang terlambat naik dan tak kebagian tempat di ranjang-ranjang dalam. Tinggal membeli karpet bekas karung semen atau menggelar sarung dilantai, jadilah ia tempat tidur. Di tambah lagi, ranjang-ranjang kelas ekonomi kadang harus dibeli lagi. Entah bagaimana, ada-ada saja orang bisa menjual ranjang dalam kapal. Padahal itu sudah menjadi hak penumpang karena sudah termasuk dalam pembiyaan tiket dan pelayanan kapal. Entah mereka bekerja sama dengan awak Kapal atau mereka memang preman-preman yang dibeking orang-orang besar. Persetan! Kapal macam ini?

Tentu saja, di dalam juga pengap dan gerah. Pun begitu, di teras-teras ini pun harus siap dihantam dingin dan siap berdamai dengan hujan yang bisa turun kapan saja. Teras seperti ini masih mending, hanya siap menerima tempiasan hujan. Tak terbayangkan bila kita menempati dek paling atas, tempat knalpot besar menjulang. Tak ada atap tak ada dinding. Dingin sedingin-dinginnya dingin. Terbujur seperti ikan-ikan tangkapan nelayan. Berserakan dari ujung ke ujung. Jika beruntung bisa tidur di Sekoci-sekoci yang menggelayut di lambung kiri-kanan dek enam. Namun harus siap menahan bau pesing kencing juga harus hati-hati jangan sampai mati sia-sia jatuh ke laut.

Sejatinya, kapal ini hanya bisa menampung sekian ribu penumpang. Namun entah, pada pelayaran tertentu, ia memaksa dirinya untuk memuat bersekian ribu-ribu penumpang. Sampai dua-tiga kali lipat dari jumlah yang ia mesti patuhi dan disanggupi oleh badannya. Kapal manusia.

***
Aku masih duduk. Diselimuti sarung. Seperti penjaga pos ronda. Yah, meronda dingin dan angin laut. Juga meronda segala bentuk manusia yang menjemur dalam kemalaman dan kedinginan dari ujung ke ujung teras ini. Meronda kapal manusia. Kapal yang memuat manusia dan manusia yang menumpang kapal.

Dalam bayangan dan pikiranku, penumpang yang mendapat tempat di ranjang-ranjang kelas ekonomi di dalam pun ada yang tidur dalam keterpaksaan. Gerahnya minta ampun. Angin yang berhembus dari air conditioner tak mempan menyejukkan ruangan luas itu. Bau keringat, bau buah-buahan, bau bawang, bau makanan, bau kapal. Lalu ada toilet. Ah, sejatinya toilet. Ia tempat bau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun