Mohon tunggu...
Rifky Pradana
Rifky Pradana Mohon Tunggu... -

Seseorang pria yang bukan termasuk golongannya rakyat 'Jelita', hanya seorang rakyat 'Jelata' saja, yang suka iseng, yang suka mengisi waktu nganggurnya untuk menghibur dirinya dengan membaca dan menuliskan uneg-unegnya yang dipostingkan di blog komunitas : Kompasiana, Politikana, serta di milis-milis yahoogroups.com : Forum Pembaca Kompas, Mediacare, Media Umat, Ekonomi Nasional, PPI-India, Indonesia Rising, Nongkrong Bareng Bareng, Wartawan Indonesia, Zamanku, Eramuslim, Sabili, Mencintai Islam, Syiar Islam, dengan nickname rifkyprdn@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mariska, Dubes Israel

16 Februari 2010   01:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu, di postingkan artikel yang berjudul ‘Yahudi Bertawaf’ dan ‘George Soros dan Boediono serta Musdah Mulia’,

Menilik dari komentar dan tanggapan serta pendapat yang ditujukan atas isi dua artikel tersebut, ternyata cukup menarik untuk dibuatkan sebuah rangkuman dan kesimpulan sementaranya.

Sebenarnya, dalam artikel berjudul ‘George Soros dan Boediono serta Musdah Mulia’ ada lima pertanyaan yang diajukan, yaitu :

Apakah kedatangan George Soros itu secara tersirat merupakan suatu bentuk dukungan terhadap Boediono yang lagi tergoncang lantaran kasus skandal Century ?.Bagaimana sikap Boediono terhadap lembaga lobby Yahudi di Indonesia itu ?.

Ataukah, ini indikasi gambaran adanya poros antara George Soros dan Boediono serta Siti Musdah Mulia ?.

Bagaimana sebenarnya sikap dan keberpihakan Boediono terhadap kebebasan beragama berkait dengan rencana pencabutan UU No. 1/Pnps/1965 itu ?.Setujukah pak Boediono terhadap hak hidup ajaran Islam Ahmadiyah di Indonesia ?.

Dari setidaknya ada 3 pokok pembahasan di seputar pertanyaan itu, ternyata yang menjadi muara perhatian dari kebanyakan rekan-rekan adalah di soal seputar ‘Yahudi’.

Hal yang sejalan dengan artikel kedua yang berjudul ‘Yahudi Bertawaf’.

Di artikel kedua itu permasalahan dicoba dikerucutkan ke arah 2 pertanyaan, yaitu :

Berkait dengan keberadaan IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affrairs Comittee) di Indonesia, akankah perannya akan menjadi penentu bagi kesuksesan karier para politisi di Indonesia sebagaimana AIPAC (The American Israel Public Affairs Committee) di Amerika Serikat ?.

Dan, apakah hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel sebenarnya sudah tiba waktunya untuk dibuka saja secara resmi ?.

Dari dua pertanyaan itu, ternyata yang menjadi muara perhatian dari kebanyakan rekan-rekan adalah di pertanyaan kedua, soal seputar kemungkinan dibukanya ‘hubungan diplomasi’ secara resmi antara Israel dengan Indonesia.

Justru soal keberadaan dan eksistensinya IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affrairs Comittee) tidak banyak mendapatkan tanggapan dan reaksi dari rekan-rekan Kompasianer.

Menariknya, di soal kemungkinan dibukanya ‘hubungan diplomasi’ secara resmi antara Israel dengan Indonesia itu, walaupun masih banyak Kompasianer yang belum setuju, namun ternyata cukup banyak juga Kompasianer yang setuju dan mendukung segera dibukanya hubungan diplomatik secara resmi antara Indonesia dengan Israel.

Sebenarnya, ada sedikit kesalahan yang dilakukan oleh penulis artikel dalam mengeset pertanyaannya. Ini dikarenakan keterbatasan kemampuan penulisnya dan mepetnya waktu penyusunannya.

Sebenarnya, yang ingin ditanyakan kepada para Kompasianer itu bukan hanya sebatas soal setuju dan tidak setuju, namun juga soal mungkin atau tidak mungkinnya terlaksana hubungan diplomatik secara resmi antara Indonesia dengan Israel.

Mengapa soal kemungkinan menjadi penting ?.

Ini disebabkan oleh fakta bahwa sampai dengan saat ini, secara de jure Indonesia belum mengakui eksistensi negara Israel.

Namun melihat telah eksisnya IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affrairs Comittee) maka hal yang bukan tak mungkin jika dalam kurun waktu 5 sampai 7 tahun lagi, sangat bisa jadi hubungan diplomatik secara resmi antara Indonesia dengan Israel sudah bisa dimungkinkan.

Apakah mungkin dalam 5 tahun hal itu sudah bisa diwujudkan ?.

Jika efektifitas dan pendanaan IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affrairs Comittee) cukup memadai, sebagai mana sangat memadainya dukungan dana yang diberikan kepada AIPAC (The American Israel Public Affairs Committee), maka hal itu sangat dimungkinkan.

Tahun pertama sampai dengan tahun kedua, atau setidaknya sampai tahun ketiga, IIPAC dapat menggarap sasaran di kalangan wartawan dan jurnalis untuk program setting opini agar publik bisa mulai ramah terhadap Israel.

Sembari mulai merekrut kalangan pakar dari dunia akademisi sebagai ‘spin doctor’ dalam berita-berita dan artikel yang akan disajikan oleh kalangan media.

Ini jika di Amerika Serikat merupakan lahan garapannya JCPA (The Jewish Council for Public Affairs). Mereka efektif sekali menggarap lobby-lobby politik dan kehumasan yang bertujuan untuk membentuk konsensus dan pembentukan opini tentang Yahudi dan Israel.

Perekrutan terhadap kalangan akdemisi ini sangat perlu, mengingat bertahun-tahun kalangan para aktivis Jaringan Islam Liberal boleh dibilang gagal melaksanakan tugas ini dengan baik.

Kegagalan itu bisa disebabkan oleh serangan langsung ke arah jantung teologi agama sebagai pusat penolakan terhadap Israel. Sasaran argumentasi di ranah ini, terlalu hard, dan terang saja sontak menimbulkan penolakan yang keras.

Maka dengan kehadiran para spin doctor dari kalangan akademisi perguruan tinggi yang tidak terkait Jaringan Islam Liberal akan menghindarkan perdebatan dari ranah teologi agama.

Sehingga argumentasi perlunya hubungan diplomatik dengan Israel itu bisa diarahkan ke ranah yang lebih umum. Seperti umpamanya lebih mengedepankan soal perlunya mendorong percepatan transfer teknologi dan menambah laju investasi FDI (Foreign Direct Invesment) serta memacu perkembangan ekonomi.

Sesuatu hal yang mungkin akan lebih soft, sehingga memungkinkan untuk dapat diterima oleh nalar dan logikanya kalangan yang belum bisa menerima kehadiran Israel dalam radarnya negara sahabatnya Indonesia.

Setelah itu, tahun keempat dan tahun kelima, adalah episode untuk melakukan kerja-kerja diplomasi bagi para diplomat Indonesia untuk mulai bergerilya di kalangan negara-negara Islam, agar pada saatnya nanti mereka dapat mengerti dan memaklumi serta menerima jika Indonesia membuka hubungan diplomatik secara resmi dengan Israel.

Bukan sesuatu hal yang mustahil, mengingat Mesir pun juga bisa melakukannya saat mereka menandatangi perjanjian Camp David.

Selanjutnya. Akhir tahun kelima atau awal sampai medio tahun keenam, program saling kunjung mengunjungi dari diplomat kedua negara, Indonesia dan Israel, dapat mulai dilakukan, sebagai awal dan persiapan dibukanya Kedutaan Besar di masing-masing ibukota kedua negara.

Langkah lanjutannya, tinggal finalisasi yang layaknya ritual seremonial saja. Saling mengirimkan Duta Besar Berkuasa Penuh.

Bukankah lima tahun lagi akan ada pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang baru, apakah hal itu masih memungkinkan ?.

Mengapa tidak, bukankah mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, pernah mengatakan bahwa “Any presidential candidate must be approved by AIPAC (The American Israel Public Affairs Committee)”.

Maka wajar saja jika lima tahun lagi di Indonesia pun secara resmi juga akan berlaku pomeo serupa, “Any presidential candidate must be approved by IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affrairs Comittee)”.

Semua itu dimungkinkan dengan catatan di domestik Indonesia selama kurun waktu itu, tidak terjadi suatu perubahan peta politik yang sangat drastis dan sangat signifikan.

Apakah tidak akan ada penolakan yang keras dari mereka yang belum bisa menyetujui hubungan Indonesia dengan Israel itu ?.

Penolakan sangat keras yang muncul disaat semuanya sudah on the track, justru merupakan hal yang ditunggu-tunggu. Kesempatan yang akan dipakai sebagai momentum untuk membabat habis para penentang dibukanya hubungan diplomatik secara resmi antara Indonesia dengan Israel.

Mengapa begitu ?.

Ya, tindakan keras itu akan dengan sangat mudah dipatahkan dengan memberikan stigma tindakan anarkis dan tindakan terorisme. Bahkan tak tertutup kemungkinan juga akan dikategorikan sebagai tindakan subversib dan makar terhadap pemerintahan resmi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Akhirulkalam, bagaimana jika pada saat itu para blogger Kompasianer mengajukan kepada pemerintah agar mbak Mariska Lubis sebagai Duta Besar Indonesia untuk Israel ?. Setuju ?.

Setuju atau ketidak setujuan itu sesungguhnya sudah tidak penting lagi, karena kandidat Dubes sampai Presiden pastilah terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dan aprroval dari IIPAC (The Indonesia-Israel Public Affrairs Comittee).

Jika sudah begitu, maka apa yang dapat diucapkan selain ucapan ‘Wilujeng Sumping Israel’.

Wallahualambishshawab.

*

Catatan Kaki :

Artikel lain yang berjudul ‘Yahudi Bertawaf’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , dan yang berjudul ‘George Soros dan Boediono serta Musdah Mulia’ dapat dibaca dengan mengklik di sini , serta yang berjudul ‘Soros Menggertak SBY ? dapat dibaca dengan mengklik di sini .

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun