Sekali tulisan dimuat di media tertentu, lazimnya nama kita sebagai penulis semacam sudah diakui dan dianggap oleh redaksi. Inilah yang dinamakan reputasi sebagai penulis. Kita perlu membangun reputasi yang baik sebagai penulis.
Royalti dari buku perdana
Setelah menulis untuk majalah dan koran, saya tertarik untuk menulis buku sederhana. Sesuai pendidikan dan latar belakang, saya menulis buku-buku kerohanian.Â
Syukurlah, setakat ini dua buku sederhana sudah saya tulis. Buku kedua bahkan baru saja mengalami cetak ulang. Artinya, sekitar seribu eksemplar pertama telah terjual habis.Â
Memang benar, royalti yang penulis terima di Indonesia sangatlah kecil. Saya hanya menerima sekitar 9% saja royalti dari harga buku saya. Akan tetapi, bagi saya royalti itu pun patut disyukuri.
Akan tetapi, bukan soal royalti yang menjadi sangat berarti. Kesempatan untuk membagikan apa yang kita pelajari dan ketahui adalah hal yang sangat membahagiakan dalam penulisan buku. Hati jadi plong setelah buku perdana terbit. Ini pengalaman saya.Â
Menulis di blog Kompasiana
Kompasiana, blog warga terbesar di Asia Tenggara menjadi persinggahan saya berikutnya. Di Kompasiana ini, disediakan aneka kemudahan bagi siapa pun yang ingin mengembangkan keterampilan menulis.Â
Nama besar Kompas tentu membuat penulis Kompasiana makin bangga. Meskipun sebenarnya berbeda, Kompas dan Kompasiana masih sering dianggap sama oleh banyak orang dan warganet.
"Wah, hebat. Kamu sekarang menulis untuk Kompas, ya?" Mungkin demikian kira-kira tanggapan sebagian orang ketika mengetahui tulisan kita tayang di Kompasiana.Â
Mungkin juga, kesalahpahaman ini lahir karena Kompas.com juga memuat sejumlah tulisan terpilih (Artikel Utama) Kompasiana di laman Kompas.com. Padahal maksud baiknya adalah agar penulis Kompasiana makin viral di Kompas.com.