Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kasus Dosen Swinger dan Impian "Layanan Satu Atap" Pelaporan Pelecehan Seksual di Indonesia

4 Agustus 2020   04:12 Diperbarui: 4 Agustus 2020   08:18 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrassi dari Thinkstockphotos.com via kompas.com

Seorang dosen (tamu) sebuah universitas bernuansa keagamaan di Jogjakarta kedapatan melakukan pelecehan seksual kepada puluhan perempuan.

Dosen yang sekilas tampak kalem dan alim itu rupanya gemar mengumbar fantasi seksual bertukar pasangan melalui fitur percakapan media sosial.

Pengakuan sang dosen yang diunggah di media sosial dan lantas dimuat berbagai media menunjukkan fakta yang memprihatinkan.

Ia mengaku telah mencatut nama universitas negeri ternama dan juga lembaga keagamaan terkemuka di Indonesia untuk melancarkan aksinya.

Yang mengejutkan, ia mengaku pernah melakukan pelecehan seksual secara fisik.

Penelusuran media menyebutkan, ia pernah dipukul banyak orang karena kedapatan melakukan tindakan tak terpuji. Ia bahkan dijuluki "dosen swinger" karena kecenderungan ganjilnya itu.

Setakat ini, sudah sekitar 50 korban yang mengaku pernah mengalami pelecehan seksual dari oknum dosen tersebut.

Konon, aksi tak terpuji oknum telah terjadi sejak 2014. Diperkirakan, sang dosen seminggu sekali mencari korban baru secara acak melalui grup-grup media sosial.

Jika dihitung secara kasar berdasarkan pola kejahatannya, jumlah korban sang dosen dapat mencapai 300 orang dalam kurun waktu 2014-2020. 

Mengapa Korban Enggan Melapor

Pertanyaan klise yang muncul tiap kali muncul kasus pelecehan dan kekerasan seksual adalah "mengapa korban enggan melapor?". 

Menurut M. Planty dan L. Langton dalam "Female Victims of Sexual Violence, 1994-2010" hanya 15,8 sampai 35 persen kejahatan seksual yang dialami perempuan di Amerika Serikat dilaporkan pada polisi.

Menurut riset T. Hart dan C. Rennison dalam "Reporting Crime to the Police, 1992-2000," hubungan korban dengan pelaku memiliki efek yang kuat pada kemungkinan pelaporan.

- Bila pelaku adalah pasangan intim atau mantan pasangan intim, hanya 25 persen dari kekerasan seksual dilaporkan ke polisi.

- Bila pelaku adalah teman atau kenalan, hanya 18 hingga 40 persen dari pelecehan seksual dilaporkan kepada penegak hukum

- Jika pelaku adalah orang asing, antara 46 dan 66 persen dari pelecehan seksual dilaporkan kepada aparat. 

Menurut riset D. Kilpatrick et al.; M. Planty-L. Langton; dan Wolitzky-Taylor et al, berikut ini adalah sejumlah alasan mengapa korban enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami: ketakutan akan pembalasan hukum; tidak ingin keluarga tahu; tidak cukup bukti; takut akan sistem peradilan; dan korban merasa kejahatan tidak "cukup serius". 

Kelemahan Sistem Hukum di Indonesia

Dilansir kompas.com, para ahli mencatat ada sejumlah kelemahan dalam sistem hukum di Indonesia dalam menangani korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Siti Mazuma, Direktur LBH APIK mengemukakan bahwa korban enggan melapor karena kepolisian meminta alat bukti dan saksi, padahal tindak kejahatan seksual sebagian besar terjadi di ranah privat. 

Kesaksian korban sering dianggap tidak cukup untuk menyeret pelaku. Dalam sejumlah kasus, pelaku justru menggugat korban dengan pasal pencemaran nama baik.

Riska Rosvianti, seorang aktivis permasalahan perempuan memaparkan bahwa pasal hukum terkait pemerkosaan yang berlaku di Indonesia masih terbatas pada hubungan seksual fisik. Pelecehan verbal belum tercakup.

Lebih lagi, batasan pemerkosaan amat terbatas pada pemerkosaan yang terjadi antara pribadi berbeda jenis kelamin.

Mendamba Layanan Satu Atap Pelaporan Kejahatan Seksual

Sejatinya, ada sejumlah lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat yang sangat peduli pada pencegahan dan penanganan kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.

Dilansir kompas.com, berikut ini adalah daftar lembaga yang menyediakan hotline pelaporan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia:

tangkapan layar kompas.com - dokpri
tangkapan layar kompas.com - dokpri
Ada juga lembaga relawan yang bergerak di bidang konseling seksualitas dan permasalahan keluarga umum, misalnya Rifka Annisa Women Crisis Center yang berbasis di Yogyakarta.

Twitter @RAWCC
Twitter @RAWCC
Sayangnya, lembaga-lembaga itu seakan bergerak sendiri-sendiri.

Tentu saja, tiap kantor polisi seharusnya juga menjadi tempat aman di mana korban pelecehan seksual dapat melaporkan kejahatan yang menimpa mereka.

Sayangnya pula, tidak semua kantor polisi dilengkapi unit Ruang Pelayanan Khusus korban anak dan perempuan. 

Coba bayangkan, Anda seorang perempuan korban pelecehan seksual datang melapor ke kantor polisi tanpa RPK dan Anda harus menjawab pertanyaan polisi laki-laki tentang peristiwa pelecehan yang terjadi. 

Alih-alih rasa aman, Anda pasti merasa sangat tidak nyaman, bahkan trauma karena berhadapan (lagi) dengan sosok laki-laki, biarpun itu polisi budiman.

Pada hemat saya, sudah saatnya pemerintah kita secara serius membentuk "layanan satu atap" pelaporan pelecehan dan kejahatan seksual. Terutama, bagi perempuan dan anak, yang menjadi mayoritas korban. 

Sangat aneh bahwa negara kita yang tidak miskin-miskin amat masih saja tak mampu membangun "layanan satu atap" yang aman bagi perempuan dan anak korban kejahatan seksual.

Layanan satu atap tersebut kurang-lebih dapat berupa satu "lembaga payung" yang terdiri dari unsur kepolisian, psikolog, dokter, pemuka agama, dan pemerhati serta pegiat isu kejahatan seksual.

Lembaga payung ini semestinya menjadi wahana sinergi aneka lembaga peduli perempuan dan anak, terutama dalam bidang pencegahan dan penanganan kejahatan seksual.

Di sisi lain, sangat ganjil bahwa anggota DPR kita enggan membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. padahal, RUU ini bisa menjadi harapan baru bagi korban pelecehan seksual. 

Sangat tidak masuk akal bahwa justru lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mati-matian membela perempuan dan anak korban pelecehan dan kejahatan seksual.

Sudah optimalkah upaya yang sudah dibuat pemerintah pusat dan daerah, kementerian negara, serta kepolisian negara dalam membantu korban kejahatan seksual?

LSM dan organisasi keagamaan serta relawan di akar rumput seolah dibiarkan berjuang sendirian, dengan sumber daya terbatas. 

Negeri kita tak kekurangan orang baik. Negeri kita tak kekurangan orang pintar. Yang kurang adalah kehendak politik para petinggi negara untuk memihak korban kejahatan seksual.

Semestinya, dengan kemajuan teknologi dan SDM Indonesia, "layanan satu atap" secara daring dan luring demi membantu korban kejahatan seksual bisa dibuat. 

Semestinya, anggaran negara dialokasikan untuk penanganan kejahatan seksual, yang makin merajalela di negara kita. Daring maupun luring.

Jika lembaga-lembaga swadaya warga saja mampu membuat hotline 24 jam dan menawarkan kanal-kanal media sosial yang mudah diakses korban kejahatan seksual, bukankah negara seharusnya bisa membuat langkah serupa?

Seandainya "lembaga payung" yang efektif ini sudah ada dan seandainya sistem hukum kita lebih memihak korban, kiranya para korban pelecehan seksual sang "dosen swinger" akan segera melapor.

Tidak akan lagi terjadi adanya ratusan korban yang enggan melapor selama 6 tahun. Tidak akan ada lagi ruang gerak bagi pelaku yang selama ini leluasa mencari korban baru tiap minggu!

Pojok baca: 1, 2, 3, 4 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun