Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wahai Indonesia, Mengapa Masih Mabuk Agama Hadapi Corona?

4 Maret 2020   18:30 Diperbarui: 6 Maret 2020   12:16 2029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa perlu penulis rinci, belum lama ini ungkapan "Indonesia selamat dari corona karena doa" juga marak diperbincangkan. Penting dicatat, di kalangan umat kristiani pun ungkapan senada beredar dengan pengkalimatan yang berbeda, namun intinya sama. Misalnya, "andalkan pertolongan Tuhan, Indonesia pasti selamat dari corona". Jadi, mabuk agama dalam hadapi corona rupanya menggejala di kalangan warga Indonesia yang beraneka agama.

Survei PEW Research
Mengapa orang Indonesia masih mabuk agama saat hadapi corona? Salah satu alasannya mungkin dapat kita kaitkan dengan hasil survei PEW Research pada tahun 2018 tentang seberapa pentingkah agama bagi Anda.

Penelitian itu menunjukkan bahwa orang dewasa di kawasan Asia-Pasifik terpecah saat menilai peran yang harus dimainkan agama dalam masyarakat mereka. Lebih dari setengahnya di Indonesia (83%), Filipina (58%) dan India (54%) percaya bahwa agama memiliki dampak yang lebih besar pada bangsa mereka saat ini daripada 20 tahun yang lalu.

Secara sederhana, 83 % orang dewasa di Indonesia menilai, agama berperan penting dalam masyarakat saat ini dibanding 20 tahun lalu. Tak heran, orang Indonesia cenderung konservatif dalam hal agama.

Penting dicatat, konservatif di sini bukan suatu yang buruk. Menaati ajaran agama adalah suatu yang mulia. Menjadi masalah ketika setiap hal selalu dikait-kaitkan dengan agama. Inilah yang disebut gejala mabuk agama.

Indonesia Mabuk Agama Hadapi Corona
Dalam menghadapi wabah seperti corona, gejala mabuk agama ini jelas terasa di perbincangan masyarakat kita akhir-akhir ini.Sejumlah politisi mengaitkan "kesuksesan" pemerintah Indonesia menahan corona selama dua bulan lalu (Januari-Februari) sebagai buah dari kesalehan beragama. 

Bahwa doa mampu mencegah wabah, saya sebagai orang beriman dan beragama juga percaya! Akan tetapi, dalam diskursus publik, politikus harusnya tampil dan berbicara dalam ranah politik, bukan agama (tertentu). Terkait isu corona, seorang pejabat politik harusnya berbicara dari sudut pandang ilmiah-kesehatan, bukan keagamaan. 

Gejala mabuk agama ini juga tampak ketika organisasi keagamaan memanfaatkan isu corona untuk  menegaskan ajaran agama (tertentu) di tengah ruang publik masyarakat Indonesia yang sebenarnya binneka. 

Sejumlah pemuka agama, baik mayoritas maupun minoritas, mencampur-adukkan corona dengan tema hukuman ilahi. 

Masalahnya, jika corona adalah hukuman ilahi, mengapa orang-orang lanjut usia dan tenaga medis -yang bukan koruptor jahat - justru jadi korban paling rawan? 

Corona adalah wabah penyakit yang pertama-tama harus kita hadapi secara ilmiah. Sebagai orang beriman, tentu kita percaya, Tuhan YME menyertai kita dalam usaha mengatasi wabah ini. Akan tetapi, menjadi keliru kalau corona digiring ke ranah agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun