Nah, sebelum menulis atau mengunggah apa pun di media publik, tanyakan pada diri sendiri apakah tulisan ini bermanfaat bagi pembaca atau hanya curhat (kejengkelan) tanpa makna?
3. Apakah bahasa tulisan itu bisa dipahami sebagian besar pembaca?
Media massa mengadaikan bahwa pembacanya adalah masyarakat luas. Ada dokter, tukang parkir di rumah sakit, pensiunan, dan remaja milenial. Bahasa yang kita gunakan (pemilihan kata, istilah, dan cara penyampaian gagasan) hendaknya bisa dipahami sebagian besar pembaca.
Sebuah artikel yang penuh dengan istilah bahasa Inggris atau daerah tanpa adanya terjemahan atau keterangan dalam bahasa Indonesia akan membuat pembaca terpana tanpa mengerti inti tulisan kita. Sebuah tulisan yang dihiasi istilah-istilah khusus dunia akademis akan membuat khalayak meringis.
Karena itu, cobalah menempatkan diri sebagai pembaca umum. Pastikan tulisan kita bisa dipahami oleh orang-orang yang pendidikannya biasa-biasa saja.Â
4. Apakah tulisan terlalu panjang dan membosankan?
Menulis di media massa mengandaikan batasan jumlah karakter dan atau kata agar layak dimuat. Tulisan di blog memang lebih lentur soal ini.
Akan tetapi, tidak berarti lalu kita bebas menulis berpanjang ria sampai pembaca bosan dan akhirnya berhenti membaca setelah halaman pertama atau kedua.
Pengalaman saya, artikel non fiksi yang baik itu panjangnya sekitar 600-1500 kata. Selain itu, satu paragraf sebaiknya penjangnya maksimal 3 kalimat saja.
Jika paragraf lebih dari dua atau tiga kalimat, beranilah menjadikannya dua paragraf. Tentu dengan memperhatikan kesatuan dan kelanjutan gagasan antarparagraf.Â
Hindari menulis kalimat dengan induk dan anak-anak kalimat yang panjang. Kalimat yang mudah dicerna adalah yang memuat satu pokok pikiran saja. Kalimat yang baik hanya memilik maksimal dua anak kalimat. Contoh kalimat "anak bucin":