Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Centang Biru Kompasiana, Kehormatan dan Beban bagi Kompasianer

12 Juli 2019   09:05 Diperbarui: 12 Juli 2019   09:27 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan lalu, sempat terjadi kesalahan teknis. Beberapa Kompasianer bercentang hijau mendapat centang biru otomatis. Saya sempat menjadi salah satu "korban" yang di-PHP Kompasiana. Duh, teganya... Saya melaporkan kejadian itu pada Kompasiana dan akhirnya centang biru saya kembali menjadi hijau.

Semoga mata saya masih sehat. Pada tanggal 10 Juli 2019, menurut penglihatan mata saya, saya (kembali) mendapat centang biru. Entahlah apakah centang biru itu benar. Jangan-jangan ini kesalahan teknis lagi. 

Dua Ganjalan di Hatiku

Jujur, ada dua hal yang menjadi ganjalan hati saya dan membuat saya tak merasa pantas menerima centang biru. 

Pertama, saya pernah beberapa kali menerima peringatan dari admin. Sebabnya, tulisan saya memuat plagiasi melebihi 25 persen. 

Ini dia surat cinta mbak Kompasiana untuk saya:

tangkapan layar Kompasiana
tangkapan layar Kompasiana
Setelah menerima surat cinta itu, saya justru deg-degan karena ada ancaman bahwa saya akan dimasukkan dalam freezer jika lima kali melakukan kenakalan.

Kedua, saya menulis di beberapa banyak bidang. Tidak fokus. Menurut petunjuk Mbah Dukun, untuk segera mendapat centang biru, penulis diharapkan fokus pada bidang tertentu. Nah, saya tak memenuhi syarat Mbah Dukun ini.

Terima Kasih 

Lepas dari benar tidaknya centang biru yang tetiba saya terima, saya ingin berterima kasih pada Kompasiana dan rekan-rekan Kompasianer. Tanpa penyunting (admin), saya tidak mungkin mendapat banyak masukan untuk meningkatkan mutu tulisan. Sematan "Artikel Utama" dan "Pilihan" telah saya terima untuk sejumlah tulisan saya yang sebenarnya  bersahaja. Sematan itu telah membuat minat pembaca menikmati tulisan-tulisan saya meningkat. 

Tanpa rekan-rekan Kompasianer, saya tidak mungkin merasa nyaman berbagi dan bercanda di Kompasiana. Mohon maaf bila sering saya tak melakukan kunjungan balasan pada tiap rekan yang memberi "vote" dan komentar. 

Kehormatan dan Beban

Bagi yang menerimanya, centang biru adalah kehormatan dan beban. Kehormatan karena centang biru adalah tanda penghargaan bagi Kompasianer yang dinilai selama ini membawa dampak positif dengan karya dan kehadirannya. 

Beban karena centang biru menjadi standar mutu yang mengingatkan penerimanya untuk terus menulis tulisan bermutu secara kurang lebih berkelanjutan. Alangkah baiknya, Kompasianer bercentang biru tetap (sesekali) menulis di Kompasiana, meski sudah sukses jadi penulis roman picisan, artis sinetron azab, petani yang panen di sawah tetangga, anggota dewan yang tidak ngantukan, dan pembesar yang perutnya tidak harus ikutan besar. 

Cara Mendapat Centang (Hijau dan) Biru Kompasiana

Bagaimana cara mendapat centang biru dari Kompasiana? Artikel lengkap versi Kompasiana dapat disimak di sini. Saya hanya ingin memberi informasi sekilas saja mengenai centang hijau dan centang biru:

1. Centang Hijau

Artinya penulis telah diverifikasi identitasnya oleh Kompasiana. Sejak 2018, "tingkatan pertama" ini disebut validasi (sebelumnya disebut dengan verifikasi hijau). Validasi adalah proses pemeriksaaan data Kompasianer secara adminstratif, bukan berdasarkan kualitas tulisan. 

Fitur Validasi Akun di Kompasiana sudah disematkan sejak 2011. 

Cara mendapat centang hijau baca di sini.

Sedangkan verifikasi (sebelumnya verifikasi biru) adalah proses penilaian Kompasianer berdasarkan kualitas tulisan maupun interaksi selama ini. Mengutip Mbah Dukun, Kompasianer yang mendapatkan label verifikasi (centang biru) adalah mereka yang artikel-artikelnya tidak diragukan lagi isinya. 

Bukan hanya karena keaktifannya dalam menulis di satu bidang atau tema, tapi juga semangatnya dalam menyuguhkan artikel berkualitas kepada para pembaca. 

Walhasil, setiap kali si Kompasianer menayangkan artikel baru, pembaca langsung mengingatnya sebagai Kompasianer yang memiliki perhatian pada bidang tertentu atau Kompasianer yang konsisten dalam berbagi hal-hal positif, menarik, dan bermanfaat lewat artikel dan ragam konten lainnya. 

NB: Saya tidak mematuhi syarat Mbah Dukun tentang "menulis di satu bidang atau tema saja". 

Pengalaman Saya

Selama ini, saya sendiri berusaha menulis tulisan yang minim salah ketik, bisa dipercaya, dan tak sekadar membuat judul click bait. Selain itu, saya berusaha memberi vote dan berkomentar serta membalas komentar dan kunjungan rekan-rekan Kompasianer. Sedapat mungkin, saya hindari plagiasi dengan mencantumkan sumber dan inspirasi tulisan.

Guna "menghindari" plagiasi, saya biasa melakukan "permak ulang" dengan mengganti kata-kata dengan sinonim dan mengubah susunan kalimat agar tulisan tidak persis sama dengan tulisan asli. Tentu saja, penulis asli bisa mengajukan keberatan jika langkah "permak ulang" ini masih dinilai sebagai plagiasi. Selain itu, tak cukup sekadar menerjemahkan artikel berbahasa asing ke bahasa Indonesia. Saya biasa menambah opini dan pengalaman pribadi agar artikel terjemahan itu memiliki nilai tambah. 

Pentingnya Menjadi Kompasianer yang Santun

Satu hal yang saya coba lakukan ialah berusaha menjadi penulis yang santun. Beberapa kali saya memberanikan diri menulis tema-tema sensitif, biasanya seputar agama dan politik. 

Kunci kesantunan, antara lain, adalah dengan memaparkan argumen yang tidak merendahkan pribadi (argumentum ad hominem) dan menghindari argumen berdasarkan diskriminasi SARA. 

Perlu rendah hati meminta maaf pada bagian pengantar tulisan agar pembaca memahami maksud baik tulisan tersebut dan tidak hanya berhenti membaca judulnya saja. Juga tetap perlu wawas diri bahwa kebenaran itu tidak selalu tunggal. Artinya, pendapat pribadi tidak selalu harus benar. Justru mutu diri diukur juga dari kerendahan hati menerima perbedaan pendapat. 

Kadang harus diakui, amat mudah tergoda untuk ngegas pol saat membahas agama dan politik, utamanya di kolom komentar. Untuk menghindari tensi panas yang tak perlu, kadang harus mengalah. Tidak semua komentar pedas perlu dikomentari dengan cabe ^_^. 

Sombong tak perlu dibalas dengan sombong. Sebabnya, di atas langit masih ada langit. Kadang kita tidak sadar, siapa sosok sebenarnya di balik nama seorang penulis di Kompasiana. Bisa saja meski tak sepaham dalam pilihan politik dengan kita dan ia amat fanatik mendukung tokoh politiknya, ternyata si penulis ini orang yang baik dan suka menolong anak yatim-piatu. 

Singkatnya, ada kebaikan rekan-rekan penulis di Kompasiana yang tidak kita tahu. 

Karena itu, tidak perlu mengejek dan menghakimi orang hanya berdasarkan komentar dan tulisannya di Kompasiana. Apalagi sampai bermusuhan dan tak mau lagi bertegur sapa di Kompasiana.

Demikian kotbah saya hari ini :) Yang setuju tinggalkan vote dan komentar tanpa harapan dapat balasan. Yang tidak setuju sila kabur tanpa meninggalkan jejak dengan risiko mendapat kelancaran dalam usaha, karier dan jodoh. 

Salam hangat khas Kompasiana, rumah kita bersama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun