Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nadiem Makarim, Kepemimpinan Menerobos Zaman

1 Desember 2020   08:02 Diperbarui: 1 Desember 2020   08:07 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama ini Indonesia sedang menghadapi krisis pembelajaran, jauh sebelum pandemi melanda. Indikasi sederhana dapat dilihat dari stagnasi yang terjadi dalam proses pembelajaran pada sekolah di pendidikan dasar sampai menengah. Kasus-kasus intoleransi terhadap perbedaan juga terjadi, bahkan bullying serta kekerasan seksual sudah menghiasi wajah pendidikan kita. Dalam situasi seperti ini, konservatisme dan resistensi terhadap perubahan menjadi faktor yang mempersulit Indonesia keluar dari krisis.

Diperlukan kepemimpinan transformatif dan inovatif untuk membawa Indonesia keluar dari krisis pembelajaran ini. Kepemimpinan   yang   berkarakter   social, politik, dan  negarawan diharapkan mampu mentransformasikan  gagasan serta masukan dari  berbagai aspek   kehidupan   bangsa  menjadi  kebijakan administratif  yang berdaya guna serta berhasil guna (Ramli;2017).  Mungkin itu mengapa Presiden Joko Widodo menunjuk sosok muda, cerdas dan seorang startup sukses  sebagai Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim.

Tulisan ini mengulas bagaimana ide-ide inovatif seorang Nadiem Makarim mampu menerobos zaman dan membelah kebekuan koservatisme pengelolaan pendidikan di Indonesia.  Berbagai kebijakan inovasi digulirkan diikuti dengan strategi komunikasi (defusi inovasi) untuk memastikan bahwa lingkungan sosial budaya dapat menerima dan mengadopsinya.

Karakter Kepemimpinan Inovatif

Nadiem Makarim, dipilih menjadi Menteri Pendidikan bukan karena pengalaman dan pengetahuannya dibidang pendidikan, tetapi karena dinilai terbukti melakukan terobosan inovasi secara struktural, dan dianggap memiliki visi bagaimana mengantisipasi masa depan. Demikian Nadiem mengungkap alasan dibalik keputusan Presiden Joko Widodo mengangkatnya sebagai Menteri, dalam dialog bersama Ade Armando di Cokro TV.

Beberapa bulan setelah dilantik menjadi Menteri, kepemimpinan Nadiem juga langsung diuji dengan pandemi covid-19. Tetapi Menteri yang ketika kecil sempat nyantri di Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri ini memang kaya imajinasi dan memiliki karakter sebagai pemimpin yang inovatif. Tidak perlu menunggu lama baginya untuk berfikir taktis strategis menghasilkan gagasan-gagasan kreatif dan bertindak cepat meresponse perubahan yang terjadi akibat pandemi-19. Nadiem segera bergegas dengan berbagai kebijakan dan inovasinya sebagai solusi menyelamatkan anak-anak dan pendidikan Indonesia.    

Karakter kepemimpinan Nadiem Makarim relevan dengan ciri kepemimpinan inovatif dalam tulisan Muhammad Ramli, yaitu memiliki  passion  dan fokus  pada hal-hal   yang   ingin   diubah,   tantangan-tantangan   yang   ada,   serta   strategi   untuk menghadapi   tantangan-tangangan tersebut. Perubahan bagi seorang pemimpin inovatif adalah  sebuah tantangan, oleh karena itu ambisinya tak pernah puas dalam zona nyaman dan tidak takut gagal, sebab kegagalan sebagai bagian  dari  pelajaran  untuk  mencapai  kesuksesan (Ramli;2017).

Inovasi yang Digulirkan  

Merujuk pada Rogers, inovasi wujudnya bisa berupa ide, gagasan, ojek, dan praktik yang dilandasi serta diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau pun kelompok tertentu untuk diaplikasikan atau diadopsi (Rogers;1983).  Jika menggunakan kerangka teori ini, kita dapat melihat begitu banyak bentuk inovasi yang sudah digulirkan Nadiem Makarim, terutama selama masa pandemi.

Inovasi paling pundamental yang dilakukan Nadiem pada aawal kepemimpinanya di Kementerian Pendidikan adalah menghapus Ujian Nasional. Lalu menggantinya dengan assesment kompetensi dan survey karakter. Ini sekaligus berimbas pada perubahan fokus terpenting dari kurikulum yang awalnya lebih mementingkan volume serapan informasi menjadi pendalaman konsep pundamental, seperti kemampuan manganalisa suatu masalah, menggunakan konsep numerasi untuk memecahkan suatu masalah, dll

Sejalan dengan penghapusan UN juga dilakukan penyederhanaan kompetensi dasar untuk memudahkan guru melakukan pendalaman, dan fokus kepada anak-anak yang risiko ketertinggalan yang sangat tinggi. Melalui penyederhanaan kompetensi ini guru-guru memiliki waktu yang lebin intensif untuk memberikan remedial kepada anak-anak yang memerlukan bantuan/pendampingan pembelajaran. Pada aspek administratif, Nadiem juga melakukan terobosan inovasi dengan menyederhanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dari belasan halaman menjadi hanya satu halaman saja. Demikian juga pola pengembangan kapasitas pengajaran guru tidak luput dari sentuhan inovasinya. Nadiem membuat inovasi melalui Perogram Organisasi Penggerak (POP). Program ini dimaksudkan untuk mencetak sekolah-sekolah dan guru-guru penggerak yang nantinya mengubah filsafat pelatihan guru yang tadinya dilatih dalam ruangan seminar dll diubah menjadi bentuk pelatihan yang dilakukan dalam lingkungan sekolah sendiri. Nadiem bahkan menargetkan dalam empat tahun akan ada sepuluh ribu sekolah penggerak. Metodenya adalah mentoring dan coaching guru-guru di sekitar sekolah mereka. Pelatihan dilakukan dalam kelas, dengan menyaksikan pengajar-pengajar yang memiliki reputasi dan berkualitas, lalu bertukar peran dan dilanjutkan evaluasi bersama. Program inovatif  ini sempat mendapatkan resistensi, bahkan dari dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia karena adanya misinformasi.

Pada saat pandemi covid-19 masuk ke Indoneaia, respons inovatif Nadiem yang cepat  dilakukan adalah menutup sekolah.  Ia sadar dan paham dengan risiko kebijakan ini, karenanya segera setelah kebijakan digulirkan Nadiem merangkul berbagai praktisi teknologi di bidang pendidikan untuk melengkapi kebijakan inovatifnya tersebut agar proses belajar anak-anak Indonesia tetap bisa berlangsung. Nadiem mulai mengoptimalisasikan Rumah Belajar dengan menggratiskan data internet dll. TVRI dan RRI juga digandeng untuk menyiarkan berbagai konten sebagai suplemen pembelajaran untuk mendukung proses belajar dari rumah. Berbagai modul spesifik dengan empasis kepada peran orang tua juga disiapkan untuk memberikan panduan sederhana membimbing anak-anak melakukan aktivitas-aktivitas pembelajaran.

Tidak hanya itu, terobosan inovatif dan berani juga dilakukannya dengan memberikan kewenangan diskresional kepada Kepala Sekolah dalam mengelola BOS. Kriteria dan mekanisme penggunaan dana BOS dibuat menjadi sangat fleksibel dengan tetap memperhatikan aspek akuntabilitas. Kepala Sekolah dapat melakukan realokasi dana BOS sesuai prioritas kebutuhan dimasa pandemi, seperti misalnya untuk membayar pegawai dan guru honorer, membeli pulsa/paket data untuk murid guna mendukung pembelajaran jarak jauh, termasuk juga untuk membeli alat teknologi informsi komputer dan persiapan protokol kesehatan. Hal ini lebih memungkinkan karena sebelum pandemi sudah dibuat kebijakan inovasi berupa pemutusan rantai birokrasi pencairan BOS, sehingga proses transfernya langsung ke sekolah. Bahkan tidak hanya itu, untuk pertama kalinya Nadiem juga membuat kebijakan realokasi dana BOS afirmasi dan BOS kinerja guna mendukung proses pembelajaran sekolah-sekolah swasta di Indonesia.

Pada jenjang perguruan tinggi, sebelum pandemi melanda Nadiem sudah mengeluarkan terobosan inovasi yang dikemas dalam program merdeka belajar. Melalui program merdka belajar ini mahasiswa diberikan alokasi 25% dari keseluruhan waktu kuliahnya untuk belajar di luar kampus. Dan ketika pandemi melanda, juga mengeluarkan kebijakan inovasi yang masih terkait, yaitu melakukan relaksasi uang kuliah tunggal (UKT). Bentuk relaksasi bisa berupa pembebasan sementara UKT, Pengurangan UKT, Perubahan Kelompok UKT, dan Pembiayaan UKT secara mengangsur. Kebijakan ini dikeluarkan guna meringankan beban ekonomi, terutama bagi mahasiswa yang tidak mampu dan/atau terdampak pandemi covid-19. Pada bagian lainnya, Nadiem juga berencana merevisi kebijakan terkait karir dosen  dan kinerja perguruan tinggi terkait adanya kewajiban penelitian dan publikasinya kedalam jurnal internasional yang selama ini dirasa menghambat karir dosen dan kinerja perguruan tinggi.

Strategi Defusi Inovasi dan Adopsi

Defusi inovasi dipopulerkan oleh Everett Rogers melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations, menjelaskan secara sederhana tentang bagaimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistem sosial (Rogers, dalam Makkulawu, 2013 ). Oleh karena itu keberhasilan defusi inovasi ditentukan oleh empat hal, pertama keuntungan yang ditawarkan dibanding inovasi sebelumnya, kedua kesesuaian (compatibility) terhadap kebutuhan nilai-nilai dan budaya sosial masyarakat, ketiga tingkat kerumitan (coplexity) yang dihadapi atau dirasakan masyarakat untuk menjalankan inovasi, dan keempat uji coba inovasi (triability) ke dalam kondisi yang sebenarnya (www.pakarkomunikasi.com). Dengan demikian proses defusi inovasi menjadi sebuah keniscayaan agar inovasi yang dapat diterima dan diadopsi dalam sebuah kehidupan sosial masyarakat (Masthuri;2020).

Keberhasilan inovasi Nadiem juga sangat ditentukan dengan cara dan model komunikasi, serta proses pelibatan (partisipatory) yang dilakukannya. Dalam kebijakan inovasi berupa menutupan sekolah, untuk memastikan proses defusi dari inovasi ini berjalan lancar, Nadiem merangkul berbagai praktisi teknologi di bidang pendidikan, mengoptimalisasikan rumah belajar dan menggandeng TVRI dan RRI. Untuk memastikan bahwa proses internalisasi gagasan yang terkandung dalam inovasi Nadiem juga melakukan engagement dengan guru dan kepala sekolah, melibatkan mereka ke dalam program-program inovatif seperti sekolah dan guru penggerak. Secara khusus Nadiem memberikan wawasan kepada mereka untuk membangkitkan rasa kepercayaan diri, kemerdekaaan dan motivasi untuk mengambil langkah-langkah sendiri mencoba metode yang baru. Untuk mendukung pelaksanaan inovasi, Nadiem juga melakukan identifikasi terhadap guru-guru yang memiliki pengalaman dan jiwa kepemimpinan,  dan selanjutnya menjadikan mereka sebagai guru penggerak yang kelak berpeluang untuk dipromosikan sebagai kepala sekolah.

Dalam proses defusi inovasi, selalu ada pihak-pihak yang cepat beradaptasi (early adopter) tetapi ada juga yang lambat bahkan sulit untuk mengadopsi inovasi (laggard). Demikian juga yang dialami Nadiem. Meskipun Ia secara humble memaknai resistensi terhadap berbagai kebijakan inovasi yang digulirkannya justru bukan berasal dari orang, melainkan dari system. Ditandai dengan banyaknya regulasi dan birokratisasi yang selama ini menciptakan "systemik insersia", sehingga memperberat dan menjadikan gerak maju perubahan dalam sistem pembelajaran menjadi lamban. Pada bagian lain, fenomena eraly  adopter juga dapat dilihat dari respons positif pemerintah setelah memiliki data densitas infra struktur sekolah, yang kemudian mendorong lahirnya kebijakkan pemerintah berupa perencanaan pembangunan sekolah dalam rangka pemerataan jumlah sekolah untuk mendukung program zonasi sekolah.

Evektivitas Strategi Merespon Resistensi

Sebagai pemimpin Nadiem sangat menyadari bahwa Ia akan selalu membuat berbagai macam keputusan, termasuk yang sifatnya inovatif, dan setiap keputusannya tersebut tidak bisa  membahagiakan semua orang. Kondisi seperti ini membuat Nadiem merasa selalu berada pada posisi sulit dalam mengambil keputusan. Namun hal menarik dari seorang Nadiem adalah ketika ia memegang sebuah nilai bahwa terhadap mereka yang tidak diuntungkan dengan sebuah keputusan berhak memperoleh simpati dan empati, salah satunya dengan cara meminta maaf.

Nilai ini diterapkan Nadiem ketika kebijakan inovasi program organisasi penggerak (POP) yang digulirkannya memperoleh resistensi. Nadiem bahka tidak segan meminta maaf dan mengakui kekurangan dalam hal cara kementerian melaksanakan program ini dan minimnya sosialisasi sebelum program diluncurkan. Ia mendatangi satu persatu pihak yang resisten dan menolak bekerjasama dalam menjalankan inovasi tersebut, menjalin silaturahmi untuk merangkul dan meminta masukan untuk penyempurnaan. Nadiem sama sekali tidak menonjolkan ego, melainkan menunjukkan kesungguhn dan berharap tetap bisa berkolaborasi (pelibatan) dengan pihak-pihak yang resisten dan menolak. Ini dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar; masa depan anak-anak Indonesia. Stretegi ini terbukti efektif, akhirnya beberapa pihak yang sebelumnya menolak dan resisten kemudian memberikan dukungan dan komitmennta untuk bergabug dalam pelaksanaan kebijakan inovasi berbrntuk program organisasi penggerak (POP) yang digulirkannya.

*) Oleh Budhi Maasthuri, Mahasiswa MKIK, Sekolah Pasca Sarjana, UGM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun