Mohon tunggu...
Blontank Poer
Blontank Poer Mohon Tunggu... -

Senang motret, tapi sekarang sedang belajar blogging. Berharap teman-teman mau mengajari saya nge-blog yang baik dan benar, supaya bisa memberi manfaat dan kelak bisa jadi bekal masuk surga (http://blontankpoer.my.id/)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sikap terhadap Difabilitas

6 Desember 2011   12:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:45 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jangan tanya perhatian, apalagi peran negara terhadap kaum difabel di Indonesia. Aksesibilitas bagi kaum difabel pun hanya tersedia sangat sedikit, walau yang menggemakan seorang Presiden. Mungkin, orang mengira seruan KH Abdurrahman Wahid kala itu sebagai permintaan subyektif, lantaran beliau dan Bu Shinta Nuriyah sama-sama difabel, sehingga lebih membutuhkan fasilitas demikian.

Lihatlah Jakarta. Mana sanggup pengguna kursi roda mengakses bus TransJakarta, atau leluasa masuk ke kantor-kantor pelayanan untuk umum, bahkan milik pemerintah? Di Kota Solo saja, yang konon punya sejarah pusat rehabilitasi pertama di Indonesia, kaum tuna daksa masih kesulitan naik biskota, kecuali ada yang mengangkatnya. Intinya, tak mungkin bagi pengguna kursi roda atau tongkat penyangga, mengakses halte dan banyak kantor.

[caption id="attachment_147771" align="aligncenter" width="600" caption="Ram yang lebar di kompleks Balaikota Surakarta ini menjadi tak memadai lantaran terlalu curam, sehingga membahayakan pengguna kursi roda. (Foto: dokumentasi Yayasan Interaksi)"][/caption]

Memang, dibanding kota-kota lain di Indonesia, Solo relatif sudah selangkah lebih maju. Peraturan Daerah tentang Kesetaraan Difabel sudah resmi ‘diundangkan’ dengan nomor 2 pada 2008. Dengan Perda itu, maka para tuna netra, tuna rungu wicara, tuna daksa dan penyandang difabilitas lainnya, disetarakan hak-hak sosial-politiknya. Banyak pemerintah kabupaten/kota dan provinsi, pada belajar ke Solo. Apalagi, kota ini juga menjadi rujukan utama secara nasional, sebagai pusat rehabilitasi cacat (maaf, begitulah istilah resminya).

Sekadar catatan saja, saya lebih merasa nyaman dengan istilah difabilitas, yang merujuk pada perbedaan kemampuan (fisik) antarorang dibanding disabilitas (disability) yang merupakan istilah internasional. Tentu saja, tak perlulah kita memperdebatkannya. Yang penting, kita hindari saja penyebutan dengan kata cacat.

[caption id="attachment_147777" align="alignright" width="250" caption="Lobang semacam ini memungkinkan pengguna terperosok... (Foto: dokumentasi Yayasan Interaksi)"][/caption]

Terkait dengan Solo sebagai pionir pemerintah daerah yang memiliki payung hukum untuk difabel, saya ingin mengajak teman-teman menyimak beberapa fasilitas umum yang masih kurang ramah untuk difabel. Dari kantor pemerintahan, halte hingga tempat-tempat umum, masih banyak kekurangan, meski sudah ada goodwill untuk melaksanakan amanat undang-undang, hingga turunan terendahnya, ya Perda no 2/2008 itu.

Saya, walau bukan wong Solo asli, sejujurnya merasa malu. Apalagi jika mengingat sepekan lagi, ribuan atlet difabel dan official dari 11 negara ASEAN akan berkumpul dna berkompetisi di Solo dalam rangka ASEAN Paragames 2011, 12-22 Desember. Meski tak memiliki referensi pembanding di negara tetangga, tapi mendengar cerita Kang Yanuar Nugroho, bahwa di Inggris Raya sana, para difabel tak pernah kesulitan mengakses apa saja, saya bermimpi jika Kota Solo bisa seperti itu. Konon, hanya kantor Kedutaan Indonesia di Inggris yang tak punya fasilitas akses memadai untuk difabel.

Mari kita tengok beberapa contoh ‘goodwill yang tak sampai’. Kata beberapa teman penggiat advokasi kesetaraan difabel, pokok soalnya terletak pada ketidakmauan pemerintah dan pelaksana proyek melibatkan para difabel sebagai bakal pengguna. “Pembangunan fasilitas umum mengacu pada kebutuhan orang normal, yang tak punya keterbatasan fisik,” ujar Sapto Nugroho, Direktur Yayasan Talenta, sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang advokasi difabel di Solo.

“Kami bisa menerima simpati dan empatinya. Tapi alangkah lebih baiknya jika perencanaan dan pelaksanaannya melibatkan calon pengguna, sehingga anggaran jadi efisien dan tepat sasaran,” tegas aktivis yang sedang giat sosialisasi gagasannya mengenai “Ideologi Kenormalan” itu.

[caption id="attachment_147779" align="aligncenter" width="600" caption="Di Stasiun Balapan hanya punya satu ram untuk satu emplasemen. Padahal, di jalur utama, terdapat tiga lintasan yang seharusnya bisa diakses difabel seperti halnya di stasiun Tugu, Yogyakarta (Foto: dokumeentasi Yayasan Interaksi)"][/caption]

Pernyataan Sapto tak hanya mengemuka pada diskusi publik saat tirakatan menjelang World Disability Day pada 2 Desember malam, di sekretariat bersama Yayasan Talenta dan Komunitas Blogger Bengawan itu. Berulang kali ia menyerukan Pemerintah melibatkan publik dalam setiap pembangunan wilayahnya. “Biar tak muspra (sia-sia, Jw. Red).

Mbak Ipung, Direktur Yayasan Interaksi, juga menyorot hal serupa. Sebagai penggiat kesetaraan difabel, terutama untuk kaum perempuan itu, Ipung menyorot banyaknya halte-halte bus yang tidak memiliki ram memadai. Selain sempit, kebanyakan ram dibuat sangat curam, sehingga membahayakan para tuna daksa, baik pengguna kursi roda maupun tongkat peyangga.

Tak hanya halte, kantor pemerintahan di kompleks Balaikota Surakarta pun tak luput dari kritiknya, selain fasilitas untuk pejalan kaki, yang memungkinkan para tuna netra terperosok atau terantuk pepohonan. “Perencanaan dan pelaksanaan proyeknya kurang pas baik kaum kami,” ujar Ipung, yang juga seorang tuna daksa.

[caption id="attachment_147780" align="aligncenter" width="600" caption="Pengguna kursi roda atau para tuna netra, jangan sekali-kali melewati ram sebuah hotel baru di Solo ini. Ambulans jelas bukan sarana yang diinginkan siapa saja... (Foto: Blontank Poer)"][/caption]

Dalam catatan penulis, sejumlah hotel dan pusat-pusat perbelanjaan moderen pun kurang ‘peduli’ kepada difabel. Malah, ada sebuah hotel yang membuat ram, meski lebar, namun terlalu curam. Siapapun yang melewati ram itu, dijamin bakal celaka.

Pemerintah Kota Surakarta, dalam hal ini Walikota, sudah seharusnya segera tegas mengawal peraturan daerah yang sudah dibuatnya sendiri. Apalagi, dibanding kota-kota lain, Solo termasuk daerah yang dihuni, konon, hampir 3.000 difabel. Baik yang sedang menjalani rehabilitasi, maupun para alumni sejumlah panti rehabilitasi yang tersebar di berbagai penjuru kota.

Perlakuan bagi difabel, meski minoritas, harus setara dengan warga negara lainnya, yang tak memiliki hambatan fisik untuk melakukan berbagai aktivitas kemanusiannya. Ini menyangkut sikap, tak hanya pemerintahnya, namun juga masyarakat secara keseluruhan. Kaum difabel tak butuh dikasihani, namun berhak untuk diperlakukan secara manusiawi, terkait dengan kekurangannya.

Oh, iya. Ada yang terlupa. Satu contoh yang agak unik adalah sikap PT KAI Daerah Operasi VI/Yogyakarta yang membawahi Kota Solo. Di Stasiun Tugu dan Lempuyangan, aksesibilitas di stasiun sangat bagus. Namun yang terjadi di Solo justru sebaliknya. Silakan cek Stasiun Balapan, Jebres atau Purwosari, kalau tak percaya.....

Baca juga tulisan Bukan Event Cacat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun