Penggunaan pesantren sebagai latar utama memberikan kontras yang kuat. Tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan spritual justru menjadi medan pembantaian.Â
Ini memperkuat pesan bahwa kekerasan bisa menyusup ke ruang-ruang yang dianggap suci, jika masyarakat kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan.
Akting dan Atmosfer
Kevin Ardilova sebagai Satrio tampil meyakinkan, membawa emosi yang kompleks: ketakutan, kebingungan, dan keberanian. Aurora Ribero dan Kaneishia Yusuf turut memperkuat dinamika cerita dengan karakter yang tidak hanya menjadi korban, tetapi juga saksi atas kekacauan sosial.
Atmosfer film dibangun dengan cermat: pencahayaan redup, suara latar yang menghantui, dan adegan-adegan sunyi yang justru paling menegangkan. Musik garapan Nara Anindyaguna dan Rocky Irvano memperkuat nuansa mencekam tanpa berlebihan.
Refleksi Sosial
Film ini mengajak penonton untuk merenung: bagaimana fitnah bisa menjadi senjata mematikan, dan bagaimana ketakutan bisa menghapus batas antara benar dan salah.Â
Pembantaian Dukun Santet bukan hanya film horor, tapi juga pengingat bahwa sejarah kelam tak boleh dilupakan. Tak hanya di Banyuwangi, ketakutan itu menjalar ke pelosok-pelosok nusantara: dari desa terpencil di Jawa Tengah hingga kampung-kampung di Sulawesi.Â
Saya juga ingat betul, pada tahun 1998, saat saya bertugas di daerah transmigrasi dan terpencil. Suasana mencekam yang terjadi di Banyuwangi turut terbawa hingga ke tempat saya. Para guru dan kiai dijaga oleh para santri dan warga kampung. Ketakutan menjalar ke pelosok-pelosok desa, meskipun tidak ditemukan adanya pembantaian di daerah lain.
Kesimpulan
Fitnah, Ninja, dan Pesantren bukan sekadar judul yang provokatif, tapi gambaran utuh dari film yang berani menantang pakem horor lokal. Ia menyuguhkan teror yang berakar pada kenyataan, dan mengajak kita untuk tidak hanya takut, tapi juga berpikir.
Pembantaian Dukun Santet adalah film horor yang berani dan relevan, menyuguhkan teror yang bukan hanya gaib, tapi juga sosial. Cocok untuk penonton yang mencari cerita horor dengan kedalaman sejarah dan kritik sosial. Bagaimana ketakutan bisa berubah menjadi kekerasan, dan bagaimana kebenaran bisa terkubur oleh fitnah.
Diakhir tulisan ini, film kisah pembantaian dukun santet di Banyuwangi tahun 1998 (2025)—Bukan sekadar hiburan mencekam, melainkan refleksi kelam  yang menjadikan pembelajaran agar konflik sosial dengan dalih dukun santet ini tidak berulang di kemudian hari. (*)