Menu ditentukan oleh tim eksternal (dinas atau vendor), tanpa mempertimbangkan kondisi lokal, preferensi siswa, atau masukan guru.
Akibatnya, muncul menu yang tidak sesuai usia anak atau tidak lazim dikonsumsi, seperti ikan hiu.
2. Proses pengadaan dan distribusi tidak transparan
Sekolah hanya menerima makanan jadi, tanpa tahu asal bahan, cara pengolahan, atau standar kebersihannya.
Ini membuka celah risiko keracunan dan pelanggaran keamanan pangan.
3. Minimnya pelatihan dan komunikasi lintas pihak
Guru, kepala sekolah, dan petugas kantin tidak diberi pelatihan soal gizi, keamanan pangan, atau pelaporan insiden.
Padahal mereka yang paling dekat dengan siswa dan bisa mendeteksi masalah lebih awal.
4. Tidak ada mekanisme evaluasi partisipatif
Keluhan dari siswa atau guru jarang ditindaklanjuti. Tidak ada forum rutin untuk menilai kualitas makanan atau dampaknya terhadap kesehatan anak.
**
Saran perbaikan Tata Kelola MBG supaya keracunan MBG tidak berulang dan terus berulang, yang membahayakan kesehatan siswa dan guru, maka:
- Libatkan sekolah sejak tahap perencanaan menu: Guru dan kepala sekolah bisa memberi masukan soal preferensi lokal, alergi, dan kebiasaan makan anak.
- Pelatihan rutin bagi petugas sekolah: termasuk pelatihan deteksi gejala keracunan, pelaporan insiden, dan edukasi gizi.
- Forum evaluasi bulanan: Libatkan siswa, guru, dan orang tua untuk menilai kualitas makanan dan memberi masukan.
Seharusnya menu MBG yang sehat dan layak konsumsi mengandung sumber protein yang aman dan terjangkau, seperti: telur rebus atau dadar, tahu dan tempe, ikan air tawar seperti lele, nila, atau mujair, ayam bagian dada tanpa kulit. Protein penting untuk pertumbuhan otot dan perkembangan otak anak.
Mengandung karbohidrat kompleks, terdiri: nasi putih atau nasi merah, ubi kukus atau singkong, jagung rebus. Memberi energi tahan lama dan mencegah rasa lapar berlebihan.