Di era digital, hubungan tak lagi berakhir di pintu terakhir pertemuan. Ia berlanjut dalam bentuk notifikasi, story yang dilihat diam-diam, atau... sebuah follow yang tiba-tiba muncul dari mantan. Satu klik kecil, tapi dampaknya bisa besar. Pertanyaannya pun muncul: haruskah kita ikuti balik?
**
Era Pasca-Putus yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Dulu, putus berarti selesai. KIni, putus berarti "berjarak secara emosional, tapi tetap terhubung secara algoritma." Media  sosial menciptakan ruang abu-abu: mantan bisa melihat keseharian kita, menyukai unggahan, bahkan mengomentari dengan santai seolah tak ada luka yang pernah terjadi.
Ketika mantan memutuskan untuk follow kembali, itu bisa berarti banyak hal:
- Mereka ingin menjaga hubungan baik.
- Mereka rindu, tapi tak ingin mengganggu.
- Mereka hanya ingin tahu kabar kita.
- Atau... mereka sekadar iseng, tanpa makna mendalam.
Namun, makna sebenarnya bukan hanya soal niat mereka—tapi juga soal kesiapan kita. Sebelum menekan tombol "follow back," ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri:
- Apakah kita sudah benar-benar sembuh?
- Apakah kita ingin membuka ruang komunikasi kembali?
- Apakah kita siap melihat kehidupan mereka tanpa merasa terguncang?
- Apakah kita mengikuti karena ingin tahu, atau karena masih berharap?
Mengikuti balik bukan sekadar gestur sopan. Ia bisa membuka pintu nostalgia, harapan, bahkan luka lama. Kadang, kita mengikuti bukan karena ingin tahu kabar mereka, tapi karena ingin mereka tahu kabar kita—bahwa kita baik-baik saja, bahwa kita bahagia, bahwa kita sudah melangkah.
**
Pespektif Emosional: Antara Nostalgia dan Kesehatan Mental
Bagi sebagian orang, melihat mantan di timeline bisa memicu kenangan yang manis... atau pahit. Bisa jadi kita merasa hangat, atau justru cemas. Bisa jadi kita merasa lega, atau malah terjebak dalam perbandingan.
Kita mengikuti balik membuat kita:
- Merasa tidak nyaman,
- Terjebak dalam stalking pasif-agresif,
- Sulit melanjutkan hidup
Maka tidak mengikuti adalah bentuk perlindungan diri yang sah. Kita berhak menjaga ruang digital kita tetap aman dan damai.
Sebaliknya, jika hubungan sudah dewasa, luka sudah sembuh, dan kita bisa melihat mereka sebagai bagian dari masa lalu yang telah kita terima, maka mengikuti balik bisa menjadi tanda kedewasaan emosional.
Beberapa cara menjaga kesehatan mental meskipun memutuskan untuk follow back mantan:Â
1. Kenali niatmu sendiri:Â Sebelum klik "follow back," jujurlah:
- Apakah kamu ingin menjaga silaturahmi?
- Atau masih ada harapan tersembunyi?
- Atau sekadar ingin terlihat "baik-baik saja"?
Mengetahui niatmu akan membantumu mengatur ekspektasi dan menghindari kekecewaan.
2. Atur Batasan Digital: Â Setelah follow back, kamu tetap bisa menjaga jarak:
- Mute story atau post mereka jika kamu belum siap melihat keseharian mereka.
- Nonaktifan notifikasi agar tidak terganggu oleh aktivitas mereka.
- Batasi interaksi—tidak perlu like atau komentar jika itu membuatmu tidak nyaman.
Media sosial bukan ruang wajib untuk interaksi. Kamu berhak mengatur kenyamananmu.
3. Jangan jadikan Timeline sebagai cermin Emosi:Â Kalau kamu mulai membandingkan hidupmu dengan unggahan mereka, itu tanda untuk rehat sejenak. Ingat:
- Orang hanya unggah yang ingin ditunjukkan.
- Bahagia di media sosial ≠bahagia sesungguhnya.
- Kmu punya perjalanan sendiri yang tak perlu dibandingkan.
4. Bangun ruang aman di luar Media Sosial: Kesehatan mental tak hanya dijaga secara digital. Ciptakan rutinitas yang menenangkan:
- Nongkrong di tempat favorit (seperti sudut buku dan kopi yang kamu rindukan).
- Menulis jurnal atau cerita reflektif.
- Membuat ilustrasi atau konten yang menyuarakan perasaanmu.
Ruang aman bisa berbentuk aktivitas kecil yang memberi rasa kendali dan kehangatan.
5. Validasi perasaanmu, jangan abaikan: Kalau kamu merasa canggung, sedih, atau bingung setelah follow back, itu wajar. Jangan paksa diri untuk "baik-baik saja."
Kamu boleh:Â
- Unfollow lagi jika ternyata tidak sehat.
- Menjauh tanpa penjelasan.
- Memilih dirimu sendiri tanpa bersalah.
**
Mengikuti balik bukan berarti membuka lembaran baru. Kadang itu hanya gestur kecil yang tak perlu dimaknai besar. Pada akhirnya, keputusan untuk mengikuti balik mantan bukan soal benar atau salah. Ia soal kesiapan, kenyamanan, dan kejujuran terhadap diri sendiri. Kita juga tak perlu merasa naif jika memilih untuk mengikuti.Â
Yang penting: kamu tetap utuh, tetap tenang, dan tetap tahu bahwa kamu berhak atas ruang yang aman—baik secara digital maupun emosional.Â
Gimana menurut kamu, Sahabat Kompasianer yang budiman? Follow balik mantan itu bijak, baper, atau bikin ribet? Kalau kamu punya pengalaman atau insigt soal mantan yang tiba-tiba follow lagi, tulis di komentar ya. Kita duduk ngobrol santai, kayak lagi duduk di pojok kafe sambil nginget masa lalu. Salam Kompasianer!
Samarinda, 25 September 2025
Penulis: Riduannor
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI