Empati sejati seharusnya mendorong kita untuk bertanya lebih mendalam: mengapa anak seperti Raya tidak tercatat dalam sistem kependudukan? Mengapa keluarganya tidak mendapatkan akses layanan kesehatan? Mengapa rumahnya berdiri di atas tanah yang penuh kotoran ayam, tanpa sanitasi?
Kemiskinan bukan hanya soal tidak punya uang. Ia adalah kondisi yang merampas martabat dan harapan. Dalam kasus Raya, kemiskinan hadir dalam bentuk:Â
- Rumah panggung yang tidak layak huni
- Orang tua dengan gangguan kesehatan dan keterbatasan mental
- Tidak adanya air bersih dan jamban
- Tidak tercatat dalam sistem administrasi negara
Cacingan, yang sering dianggap penyakit ringan, menjadi mematikan karena tubuh Raya sudah terlalu lemah. Ia tidak punya cukup gizi, tidak punya cukup perlindungan, dan tidak cukup perhatian dan sistem yang seharusnya menjaganya.
***
Refleksi Untuk Kita Semua
Kematian Raya adalah cermin. Ia memantulkan wajah kita sebagai masyarakat: apakah kita benar-benar peduli, atau hanya terkejut sesaat? sehingga kejadian seperti itu berulang dan kembali berulang.
- Pemerintah perlu memperkuat sistem pendataan dan layanan kesehatan dasar bagi masyarakat secara umum, terutama kalangan yang tidak mampu (miskin dan ekstrim miskin)
- Masyarakat perlu membangun solidaritas, bukan sekedar simpati
- Guru, kader, dan tokoh lokal perlu diperdayakan untuk mendeteksi dan mendampingi anak-anak rentan
Empati bukan hanya perasaan. Ia harus menjadi gerakan. Gerakan untuk memastikan tidak ada lagi anak yang meninggal karena penyakit yang bisa dicegah. Gerakan menjadikan kemiskinan sebagai musuh bersama, bukan sekadar statistik. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI