Begitupula, tarif tambahan di setiap negara-negara diberikan berbeda, berdasarkan penilaian praktik dagang menurut Donal Trump tidak adil bagi negaranya, meliputi: China 34%, vietnam 46%, Jepang 24%, Korea selatan 25%, India 26%, Taiwan 32%, Thailand 36%, Uni Eropa 20%, Israel 17%, Kamboja 49%, Bangladesh 37%, Indonesia 32%, Swis 31%, Afrika Selatan 30%, Pakistan 29%, Arab Saudi 10%, Australia 10%, sedangkan Kanada dan Meksiko dikecualikan.
Kebijakan tarif yang berbeda-beda ditiap negara ini, tentu memicu reaksi global, bahkan beberapa negara juga akan mengumumkan niat untuk memberlakukan tarif balasan terhadap produk-produk AS.Â
Situasi ini meningkatkan ketegangan dalam perdagangan internasional dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi perang dagang yang lebih luas. Dan tarif tambahan yang diberlakukan Amerika Serikat mulai efektif 9 April 2025.
***
Menggali Masalah Domestik
Ketika Trump berbicara soal tarif impor, pasar langsung bereaksi. Mengapa? karena setiap kebijakan proteksionisme dari AS bisa memicu ketegangan dagang global, menurunkan volume perdagangan internasional.Â
Akibatnya, permintaan terhadap dolar melonjak, sementara mata uang negara-negara lain, termasuk rupiah terdepresiasi. Koreksi rupiah terhadap dolar kian dalam.Â
Namun tentu saja, menyalahkan Trump atau geopolitik global saja tidak cukup. Dari dalam negeri, Indonesia masih menghadapi tantangan struktural yang memperparah tekanan terhadap rupiah:
- Defisit neraca perdaganga barang berteknologi tinggi dan bahan baku.
- kebutuhan dolar untuk membayar utang luar negeri sektor swasta.
- Ketergantungan terhadap ekspor komoditas primer, yang harganya sangat fluktuatif.
- Transisi pemerintahan dan arah kebijakan ekonomi ke depan yang masih penuh spekulasi.
Apa yang bisa dipelajari dari situasi ini? Pertama, bahwa Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada iklim ekonomi global yang kondusif. Dunia sudah tidak seideal dulu.
Proteksionisme, ketegangan geopolitik, dan ketidakpastian suku bunga adalah 'new normal' yang harus kita hadapi. Pernyataan TRump adalah pengingat keras bahwa tatanan global bisa berubah dengan cepat, dan negara seperti Indonesia harus membangun ketahanan ekonomi dari dalam.
Ini saatnya mempercepat transformasi: membangun industri substitusi impor, mendorong ekspor bernilai tambah, bukan hanya bahan mentah. Mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional (local currency settlement). Mengembangkan pasar keuangan domestik agar tidak terlalu rentan terhadap modal asing.
***
Bukan Soal Kurs Semata, Tapi Soal Kemandirian