Jika aturan ini diterapkan secara ketat, beberapa dampak negatif bisa muncul :
- Kekurangan Guru di Daerah Tertinggal : Sekolah-sekolah di pelosok bisa kehilangan tenaga pengajar karena banyak guru honorer belum bersertifikasi.
- Kesenjangan Pendidikan semakin Lebar : Murid-murid di daerah terpencil berisiko tertinggal lebih jauh dibandingkan dengan siswa di perkotaan yang memiliki lebih banyak guru bersertifikat.
- Menurunnya semangat Guru Honorer : Melarang guru tanpa sertifikasi mengajar bisa mematahkan semangat para pengajar yang sudah bertahun-tahun mengabdi dengan dedikasi tinggi.
Solusi : Pendekatan Bertahap dan Inklusif
Daripada melarang total, pendekatan yang lebih bijak adalah menerapkan aturan ini secara bertahap dan fleksibel, sebagai berikut :
- Meningkatkan Akses ke sertifikasi : Pemerintah perlu memperluas akses ke program sertifikasi, khususnya bagi guru di daerah terpencil, misalnya menghadirkan program daring atau pelatihan lokal. Sehingga guru-guru di daerah terpencil bisa mengikuti pelatihan tanpa harus meninggalkan sekolah mereka dalam waktu yang lama.
- Mengakui Pengalaman Mengajar : Memberikan jalur khusus sertifikasi bagi guru yang sudah mengajar bertahun-tahun sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian mereka.
- Pendampingan berkelanjutan :Â Mengadakan program pelatihan berkala bagi guru yang belum bersertifikasi agar mereka tetap bisa meningkatkan kompetensi sambil menunggu kesempatan sertifikasi.
Kesimpulan : Apresiasi pengabdian, Dorong Profesionalisme
Sertifikasi guru memang penting sebagai standar kualitas pendidikan. Namun, melarang guru tanpa sertifikasi mengajar tanpa mempertimbangkan realitas lapangan bisa berdampak buruk bagi keberlangsungan pendidikan, terutama di daerah yang kekurangan tenaga pengajar.
Solusi terbaik adalah mengapresiasi pengabdian para guru yang sudah berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa, sambil terus mendorong mereka untuk mengikuti sertifikasi dengan menyediakan akses yang lebih mudah dan Inklusif.Â
Dengan cara ini, kita bisa menjaga semangat para pendidik sekaligus memastikan kualitas pendidikan yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Kalau kita bicara lebih jauh, sebenarnya banyak kisah inspiratif dari para guru yang berjuang demi mendapatkan sertifikasi, meski harus melewati tantangan yang besar.
Bayangkan seorang guru di pelosok yang harus naik perahu setiap hari untuk mengajar di sekolah terpencil, mengajari anak-anak membaca dan menulis meski belum memiliki sertifikat pendidik.Â
Apakah pengabdiannya layak diabaikan hanya karena belum memenuhi syarat administratif? Atau justru negara perlu hadir untuk mempermudah jalannya menuju profesionalisme tanpa mengorbankan pendidikan anak-anak yang sudah ia layani?