Mohon tunggu...
Gayuh Arya Hardika
Gayuh Arya Hardika Mohon Tunggu... Administrasi - juris

Simple, Humble and Warm | lurah.dargombes@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Praperadilan Penetapan Tersangka, Sebuah Uji Coba Hukum

13 Februari 2015   04:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:18 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14237596711732585637

[caption id="attachment_396517" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/kompasiana(kompas.com)"][/caption]

Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan peraturannya. Peraturan hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya. Ada kemungkinan terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada peraturannya, justru lain penyelesaiannya. Hal seperti itu bisa terjadi karena suatu peraturan perundang-undangan tidak selalu sesuai atau selaras dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.

Suatu undang-undang sifatnya umum, artinya ia mengatur suatu perbuatan yangditujukan pada semua orang. Undang-undang juga tidak mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara jelas dan tuntas. Hal ini disebabkan karena kepentingan manusia sangat banyak macamnya dan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Undang-undang sifatnya tetap atau tidak berkembang, sehingga sering dikatakan bahwa undang-undang selalu ketinggalan dari peristiwanya (het recht hinkt achter de feitan aan).

Pembentuk undang-undang cenderung untuk membentuk undang-undang yang sifatnya umum. Alasannya karena sifat umum dari undang-undang itu dapat memberikan sifat yang lebih fleksibel dalam menghadapi perkembangan kepentingan manusia, sehingga hakim lebih leluasa untuk menemukan hukum dengan cara menjelaskan dan melengkapi undang-undang.

Struktur Hukum sebagai Determinan

Dalam teori ilmu hukum disebutkan bahwa hukum memiliki tiga unsur, yakni substansi/materi, struktur dan unsur budaya hukum. Unsur substansi hukum adalah unsur perundang-undangannya. Unsur struktur hukum adalah unsur pranatanya: pengadilan, kejaksaan, kepolisian dan sebagainya. Sedangkan unsur budaya hukum ini menyangkut masyarakat, orang-orang, dan tingkah laku mereka; sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dan terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baiksecara positif maupun negatif.

Hubungan ketiga unsur hukum tersebut adalah saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Materi atau substansi hukum memengaruhi struktur hukum dalam pengejewantahan hukum secara riil di masyarakat. Praktek penerapan materi hukum, termasuk penafsirannya, oleh struktur hukum akan membentuk budaya hukum dan memengaruhi rupa kinerja hukum dalam perwujudannya di kehidupan masyarakat. Namun mengingat bahwa hukum dibentuk bukan di ruang hampa yang bebas nilai, maka diakui atau tidak, struktur hukum merupakan unsur yang bersifat determinan. Tentang bagaimana struktur hukum menjadi determinan, dapat dicermati dari contoh yang tersebut di bawah ini.

Di negeri Belanda, ada contoh bagaimana struktur hukum bekerja membuat suatu terobosan hukum, yaitu pada tahun 1919 terjadi perkembangan yang signifikan atas makna Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigedaad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum vs. Cohen yang dikenal Drukkers Arrest, pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas, tidak hanya sekedar melanggar peraturan undang-undang semata, melainkan juga meliputi melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum, kesusilaan, dan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat.

Sedangkan di Indonesia, dahulu seorang istri dikategorikan tidak cakap melakukan perbuatan hukum jika tanpa seizin dan persetujuan suaminya (Pasal 105, 108, 109 dan 110 KUHPerdata). Namun kemudian ketentuan mengenai perlunya izin dari suami kepada isteri untuk melakukan perbuatan hukum “tidak berlaku” lagi sejak adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang. Ditinjau dari hierarki peraturan perundang-undangan, seharusnya yang bisa mengubah atau menyatakan ketentuan dalam KUHPerdata tidak berlaku adalah undang-undang. Surat Edaran Mahkamah Agung, secara teoritis sejatinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena sifatnya yang bisa dibilang sekadar himbauan. Namun ternyata dalam praktek hukum, surat edaran Mahkamah Agung tersebut diikuti oleh para hakim di pengadilan.

Dari sini bisa diketahui bahwa struktur hukum sangat memengaruhi penerapan materi/substansi hukum dalam praktek; struktur hukum bisa saja menerapkan materi ketentuan peraturan perundang-undangan secara ketat dan apa adanya, dan sebaliknya bisa juga mengabaikan ketentuan peraturan yang ada dengan alasan tertentu yang kemudian diterima oleh masyarakat.

“Percobaan” untuk Terobosan Hukum

Seringkali, terobosan hukum yang dilahirkan oleh pengadilan mempunyai sejarah panjang. Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad), misalnya, sebelum membuat terobosan hukum tentang makna perbuatan melawan hukum menjadi tidak hanya sekedar melanggar peraturan pada tahun 1919, sebelumnya didahului dengan banyaknya gugatan ganti kerugian akibat suatu perbuatan yang perbuatan tersebut tidak secara khusus dilarang dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan di Indonesia, salah satu hal yang bisa dijadikan contoh adalah tentang class action atau gugatan perwakilan kelompok. Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Setidaknya ada 3 gugatan class action yang mendahului sebelum class action diakui dalam sistem hukum Indonesia. Gugatan class action yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors yang diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemi demam Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988. Setelah itu adalah gugatan class action yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melawan PT. PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.

Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan: (a) Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentinganmerujuk yurisprudensi MA dalam putusan pada tahun 1971 yang menyatakan gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum; (b) Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, sedangkan dalam 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu Surat Khusus; (c) Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedur mengajukan gugatan class action ke pengadilan.

Setelah melalui proses uji-coba yang cukup panjang, akhirnya class action diakui keberadaannya dalam sistem hukum di Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Walaupun class action hanya diatur dalam beberapa pasal saja, namun hal tersebut merupakan sejarah baru hukum Indonesia. Terhadap class action ini kemudian Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Praperadilan Penetapan Tersangka sebagai Uji Coba Hukum

Beberapa hari ini, isu hukum yang sedang menjadi sorotan adalah upaya praperadilan BG yang diwakili kuasa hukumnya atas penetapan tersangka oleh KPK. Walaupun diselimuti kontroversi, namun langkah melakukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka ini patut untuk dicermati mengingat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menentukan secara limitatif tentang obyek gugatan praperadilan, dan penetapan tersangka bukanlah bagian dari obyek gugatan praperadilan.

Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: 
(a). sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 
(b). sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 
dan (c). permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Ketentuan dan cakupan praperadilan tersebut dipertegas dalam ketentuan Pasal 77 jo. 78 ayat (1) KUHAP.

Walaupun KUHAP sudah menentukan penetapan tersangka bukanlah bagian dari obyek gugatan praperadilan, namun pada tanggal 27 November 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan putusan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel yang salah satu amarnya adalah membatalkan penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Kuasa hukum Bachtiar Abdul Fatah saat itu, Maqdir Ismail, kini juga menjadi kuasa hukum BG dalam gugatan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap BG oleh KPK. Selain perkara di atas, pada tanggal 29 Agustus 2014 PN Jakarta Selatan juga pernah mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Toto Chandra. Dalam putusan ini, status tersangka Toto Chandra dibatalkan dan memerintahkan penghentian penyidikan atas perkara a quo.

Dalam kerangka demikian itu, praperadilan yang diajukan atas penetapan tersangka, dapat dipahami sebagai upaya percobaan atau uji coba dalam praktek hukum. Tentang hasilnya apakah akan diterima sebagai kaidah hukum baru atau tidak, biarlah waktu yang menjawab. Yang jelas, setiap hal selalu mengandung sisi positif dan negatif seperti halnya dua sisi mata uang. Jika nantinya menjadi kaidah hukum baru, jangan sampai sisi negatifnya menjadi lebih banyak dan justru mendistorsi fungsi hukum sebagai salah satu alat manusia untuk mencapai kesejahteraan umum. Bagaimanapun, undang-undang selalu ketinggalan dari peristiwanya (het recht hinkt achter de feitan aan). Tabik!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun