Mohon tunggu...
Bismo Ariobowo
Bismo Ariobowo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pebisnis kuliner on line.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Retorika, Gestur dan "Tukulisme" Presiden Jokowi

21 Oktober 2014   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:15 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagai orang yang pernah belajar tentang Retorika, Public Speaking, Training of Trainer dan berbagai training untuk meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum, saya terus terang "underestimate" dengan cara Bapak Presiden RI ke-7 Ir. H. Joko Widodo (Jokowi)  berpidato tanpa teks di depan umum.

Saya sering ikut deg-degan manakala menunggu Jokowi memberi sambutan. Jokowi terkesan tegang setiap kali memulai kata pertama dalam sambutannya. Bahkan kerap lupa menyampaikan salam "Assalamu"alaikum...", atau menyebut naama audience yang harus disapa, diksinya kurang variatif bahkan sangat dangkal, Gestur tubuhnya juga miskin untuk membantu memperkuat ucapan-ucapannya. Sistematika berpikirnya loncat-loncat.

Namun, uniknya hal-hal yang dalam berbagai training public speaking kerap menjadi "kelemahan"  untuk diperbaiki, kini menjadi " kekuatan" Mr. President. "Kelemahan" itu menjadi "kekuatan" yang diekploitasi. Saat Jokowi disebut "bodoh" oleh Gubernur Jateng Bibit Waluyo pada waktu mereka berkonflik tentang peruntukan lahan di Solo, dengan enteng Jokowi jawab,"Memang saya bodoh."

Pada kesempatan lain, saat ia dijelek-jelekkan oleh lawan politiknya sewaktu kampanye Pilpres, dengan tanpa ekpresi perlawanan ia hanya menjawab "Aku rapopo". Sebuah ekspresi yang mengesankan ketidakmampuan berargumen. Pasrah dengan keadaan.  Padahal jika hal yang sama terjadi pada politisi lain, maka kita akan menyaksikan para politisi itu dengan "lincah" bersilat lidah menyampaikan argumen. Makin tinggi intensitas konfliknya, makin asyik media menjadikan mereka sebagai objek entertain news. Bahasa yang dipakai juga hebat-hebat.

Jokowi memang unik, Makin dijelek-jelekkan, makin ia "digemari". Makin dihujat, makin menjadi tambahan energi untuk digemari.

Ini mengingatkan saya pada figur Tukul Arwana. Tokoh entertain dengan wajah "ndeso, culun, dan apa adanya" itu sampai kini masih bertahan menjadi host di acara "Bukan Empat Mata". Bertahan di jagat entertainment yang berseliweran dengan tokoh-tokoh ganteng, cantik, pintar, priyayi dan tangkas berbicara dalam waktu demikian panjang tentu bukan sesuatu kebetulan. Pasti ada "Tim Kreatif" di belakang Tukul yang membuat "jualan kelemahannya" itu justru terus-menerus laku. Meski seiring berjalannya waktu, sebenarnya seorang Tukul telah mengalami metamorfosis yang luar biasa sebagai seorang entertainer tanpa menghilangkan jualan "keculunan-nya".

"Tukulisme" nampaknya bisa menjadi jalan ideologi politik pencitraan bagi Jokowi. Jokowi tidak perlu mengubah apa-apa dari penampilan dan gestur natural yang melekat pada dirinya. "Tukulisme" itulah kekuatan Jokowi yang harus dieksplotasi. Tentu pada sisi lain, ia perlu memilih "Tim Kreatif" yang bekerja di balik layar menyiapkan bahan-bahan untuk mengisi memori dalam pikirannya saat ia buntu atau menyiapkan penampilan dan tema yang tepat agar ia bisa mengekploitasi panggung.

Bagaimana pun, panggung politik berbeda dengan panggung hiburan. Panggung politik membuat Jokowi kerap berhadapan dengan lawan-lawan politik. Panggung politik ---apalagi berperan sebagai seorang Presiden---membuat Jokowi terikat dengan aturan-aturan protokoler yang mengekang. Kesalahan mengemas retorika dan gestur bisa menjadi santapan empuk untuk diserang oleh lawan politik. Sementara panggung hiburan lebih bisa "ditekuk-tekuk" dalam hal kreativitas dan penampilan. Aturan-aturan protokoler amat cair.

Meski dalam beberapa kesempatan,  Jokowi justru mencoba menerobos aturan-aturan dengan memanfaatkan "kelemahannya". Lihatlah bagaimana ekspresi tukang mebel asal Solo saat naik kereta kuda menuju Istana Negara dengan melepas jas, dasi dengan rambut "madul-madul" (berantakan).....benar-benar natural....

Atau lihatlah  bagaimana sang Mr President ini lari dari sudut panggung ke ujung panggung yang lain saat Konser "Syukuran Rakyat". Perilaku yang lebih mirip Giring NIDJI atau Armand Maulana GIGI daripada seorang Gubernur bahkan Presiden. Benar-benar Tukulis sejati....

Namun demikian, agar karir Jokowi dapat terus bertahan lama di panggung politik dengan citra dan ideologi "Tukulisme" semacam itu, kiranya Jokowi perlu memilih atau dipilihkan Tim Kreatif yang mampu "mengendalikan"  sang Superstar saat retorika-nya sedang "blank",  atau  tindakannya ngelantur" dan gestur-nya tidak sesuai skenario dengan mengingatkan : " Maaf Pak Presiden.... kita Kembalik ke Laptop....!" (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun