Tapi pada akhir November tahun lalu aku tak hanya bernyanyi.Aku benar-benar pulang.Mengunjungi kembali tanah kelahiran demi bersua orang tua dan sanak saudara.
Ya,aku menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Yogyakarta menuju kampung halaman di dataran tinggi Agam, pulau Sumatra.
Rencana awal aku hanya akan berada di kampung seama sepuluh hari saja.Namun memasuki tanggal 5 Desember tiba-tiba aku harus merubah rencana itu.Ya,aku harus menambah liburanku menjadi sepuluh hari lagi.Apa pasal ?
Semua berawal dari sebuah pesan whatsap.
"Bang,masih di kampung ? Jangan balik ke Jogja dulu.Aku mau pulang tanggal sepuluh,"Â demikian bunyi sebuah pesan yang dikirim adikku yang berdomisili di Tangerang.
Tak lama setelah itu berkali-kali pesan serupa muncul di notifikasi whatsap dari adik-adikku yang lain.Tak hanya saudara kandung,tapi juga dari para saudara sepupu.Semua mengabarkan mereka akan sampai di kampung antara tanggal 10 sampai 16 Desember.
"Waw,kok tumben bisa liburan bareng kali ini " pikirku.Akhirnya aku memutuskan memundurkan tanggal kembali ke Yogya demi berjumpa saudara-saudara dan sepupu terdekatku dari generasi kelima keluarga besar kami.
Mengenang masa kecil dahulu,sebagaimana halnya banyak keluarga di kampung kami di kaki gunung Marapi,kami hidup bersama dalam satu rumah besar yang lazim disebut "rumah gadang".Rumah yang dihuni beberapa wanita dewasa beradik kakak bersama anggota keluarganya,suami dan anak-anaknya.
Disananlah aku dan saudara-saudaraku menghabiskan masa kecil dan remaja.Masa-masa penuh bahagia walau hidup kami amat sederhana.Suasana ramai adalah bagian dari keseharian kami.
Tapi semua cerita itu harus berakhir ketika masing-masing kami menamatkan sekolah menengah.Satu persatu dari kami berangkat ke kota lain dan tercerai berai hingga kini di berbagai kota di Sumatra dan Jawa guna melanjutkan pendidikan atau bekerja.
Jadilah setiap pulang kampung suasananya sepi.Yang didapati hanyalah para orang tua kami.Jarang bertemu dengan  sesama saudara.