Mohon tunggu...
Bimo Aria
Bimo Aria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Freeman

Seorang pejalan yang menyukai musik, buku, seni, budaya, dan alam. Menulis untuk merawat nalar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agung Nugraha, Mengajar Hingga Pelosok Negeri

3 Mei 2024   15:30 Diperbarui: 3 Mei 2024   19:15 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat progam mengajar di Wailago. Foto: Dok. pribadi Agung Nugraha 

Jakarta - Semangat mengajar tumbuh dalam jiwa Agung Nugraha, lima tahun ia mengisi waktu hidupnya sebagai guru di daerah pelosok dan pedalaman Indonesia. Flores (Wailago), Jambi (Suku Anak Dalam), Papua (Asmat), dan Sulawesi Selatan (Kajang) menjadi saksi hidup yang nyata dari kisah dedikasi Agung dalam mengajar.

Agung sendiri adalah mantan relawan yang pernah tergabung dalam Sokola Rimba, atau yang kini telah berganti nama menjadi Sokola Institute. Sokola Rimba merupakan lembaga yang didirikan pada tahun 2003, bergerak dalam pendidikan dan berfokus untuk masyarakat adat, serta suku-suku yang tidak tersentuh oleh pendidikan. 

Program-program pendidikan dari Sokola Rimba disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri, mulai dari program pendidikan membaca, menulis, dan menghitung. Program paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA). Program pendidikan mengenai ketahanan hidup seperti, mendirikan kelompok tani, kelompok nelayan, koperasi, dan budaya menabung, serta adapun program lain seperti, mendirikan perpustakaan, membuat saluran air untuk perkampungan, pemberdayaan perempuan dan kepemudaan, hingga mendirikan PAUD juga menjadi program dari Sokola Rimba. Tentunya program itu semua tergantung dengan kebutuhan dari tempat dan masyarakat yang menjadi objek dari Sokola Rimba.

Kembali ke cerita Agung Nugraha, sebelum menjadi pengajar di Sokola Rimba, Agung merupakan mahasiswa Unpad yang kala itu aktif berkecimpung dalam perhimpunan mahasiswa pecinta alam Universitas Padjadjaran (Palawa Unpad). Di Palawa Unpad, Agung mengenal seniornya yang bernama Butet Manurung, yaitu perempuan dibalik berdirinya Sokola Rimba.

Agung sempat mendapat ajakan untuk gabung ke dalam Sokola Rimba, tapi dikarenakan ia masih belum tuntas kuliah, pada saat itu ia memutuskan untuk tidak menerima tawaran tersebut. Singkat waktu, Agung yang sudah lulus kuliah sedang mengalami fase hidup yang terbilang berantakan dalam mengatur pola hidupnya. Akan tetapi, niat baik dari dirinya untuk berubah menjadi lebih baik, membawanya untuk mengajukan diri sebagai relawan Sokola Rimba yang dimana kala itu sedang mencari relawan untuk mengisi tenaga pengajar di Flores yang sedang kosong.

Alhasil Agung diterima, lalu diberangkatkan lah ia ke Flores dalam program mengajar pertamanya disana, yakni di Wailago, sebuah kampung kecil di pulau terpencil, di seberang Maumere. Baginya itu adalah awal yang mustahil, karena ia harus mengajar program paket A (setara SD) hanya dalam waktu empat bulan. Ia mulai memikirkan cara yang efektif dalam mengajar, berkunjung lah ia ke kota untuk mencari inspirasi. Benar saja, ia berjodoh dengan gramedia, lantas ia membeli buku IPA, IPS, Matematika, dan lain lain yang kemudian dijadikannya sebagai panduan dalam mengajar.

Tidak berhenti sampai disitu, Agung melakukan musyawarah dengan warga untuk menentukan jadwal belajar yang lebih efektif. Jadi sesi belajarnya ditambah, saat siang dimulai dari jam 12.00-15.00 dan lanjut malam hari pada jam 19.00-21.00. Syukur itu membuahkan hasil yang maksimal, program mengajarnya untuk paket A terkejar dalam kurun waktu selama empat bulan.

Berada di Flores membuat Agung merasa bahwa ternyata dirinya bisa bermanfaat bagi banyak orang, yang mana ia sempat berada di titik hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Pada kesempatan ini juga Agung merasa bahwa ia tidak hanya sedang mengajar, tapi juga belajar. Setelah itu Agung semakin semangat untuk mengajar pada program-program selanjutnya dari Sokola Rimba. Hingga ia lanjut mengajar di Flores selama tiga tahun, dalam tiga program mengajarnya yang berlangsung sejak 2010.

Terlepas dari tantangan berat untuk beradaptasi dengan kehidupan di sana, Agung lebih merasakan banyaknya penyebab yang menjadi motivasi baginya untuk melanjutkan program sampai tiga tahun di Wailago. Di sana murid-murid sadar akan pentingnya pendidikan, semangat belajar mereka tinggi, murid-muridnya penurut dan tidak melawan kepada guru, serta berkomitmen pada program belajar.

"Dulu waktu saya belum datang di Wailago, orang-orang di sana ketika sedang musyawarah desa selalu duduk di belakang, tidak berani berbicara, dan pemalu. Tapi, semenjak saya mengajar, mereka berani duduk di paling depan dan menjadi vokal. Hal itu menjadi kebanggaan bagi saya sebagai seorang guru," ujar Agung, Rabu (01/5/2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun