Rektor salah satu universitas swasta Jakarta pernah bercerita demikian. "Saya punya anak kelas 8. Suatu hari ia naik sepeda dan rantai sepedanya lepas. Ia berteriak, 'papa ini gimana sepedaku'. Lalu saya bilang, itu rantainya lepas. Pasang dong nak. Anak saya berteriak, 'aku ga bisa papa!'. Lalu Rector tersebut melontarkan pernyataan kepada kami, "Anak saya belajar apa di sekolah ya sampai tidak bisa pasang rantai sepeda yang lepas. Pembelajaran di sekolah tidak bermakna."
Cerita itu memunculkan pertanyaan refleksi, "Apa dan bagaimana guru merancang pembelajaran bermakna?"
Apa Itu Pembelajaran Bermakna?
Sebelum kita mengulas bagaimana guru merancang pembelajaran bermakna, baiklah kalau kita sepakati dulu apa itu pembelajaran bermakna. Pada artikel ini saya mau menggunakan gagasan Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan dari Brasil yang terkenal dengan bukunya Pedagogy of the oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas)
Gagasan Paulo Freire mengenai pembelajaran bermakna terkandung di dalam penjabarannya mengenai pendidikan yang membebaskan sebagai model pendidikan dialogis kritis. Salah satu ciri pendidikan dialogis kritis adalah pembelajaran dilaksanakan dengan hadap masalah (problem solving).
Materi pembelajaran adalah sesuatu (thing) yang ada dan dialami oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sesuatu itu kemudian digali (baca: direfleksikan) untuk ditemukan persoalan di dalamnya (konsientisasi-penyadaran), yang kemudian dicari jalan keluarnya.Â
Dari pemikiran Paulo Freire, saya merumuskan bahwa pembelajaran bermakna (meaningfull learning) adalah proses pembelajaran hadap masalah.
Pembelajaran Bermakna dalam Kurikulum Merdeka
Frase pembelajaran bermakna pertama kali muncul (sejauh ingatan saya) pada masa pendemi Covid-19. Pada saat sekolah melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah (BDR) dinas pendidikan secara intensif mendorong guru melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Frase itu kemudian menjadi popular pada penerapan kurikulum merdeka.