Sekolah Swasta bagai Anak Tiri

Sudah tujuh bulan saya tidak aktif menulis di laman Kompasiana. Hari ini saya tergerak membuka akun ini untuk sharing. Mataku tertuju pada notifikasi lalu saya klik hingga muncul deretan notifikasi. 

Ketertarikan saya tertuju pada [TOPIK PILIHAN] Sekolah Swasta Vs Sekolah Negeri. Karena itu, mengawali sharing pertama saya setelah tujuh bulan off, saya  ingin berbagi mengenai Sekolah Swasta Negeri.

Saya seorang pendidik di sekolah swasta sejak tahun 2000. Saya bukan pegawai ASN di sekolah negeri karena kurang beruntung saja (ini menurut saya). Awal saya menjadi pendidik yaitu di Lembaga Pendidikan Katolik, dan sekarang saya di Lembaga Pendidikan Buddha.

Jika ada pernyataan sekolah swasta lebih bagus daripada sekolah negeri atau sebaliknya, bagi saya itu adalah persepsi atau opini yang mengeneralisasi. 

Kenyataannya di negeri kita ini sekolah swasta dan negeri sama-sama punya peran yang teramat penting dalam membangun bangsa melalui pendidikan generasi muda. Memang ada sekolah swasta yang bagus, demikian juga tidak sedikit sekolah negeri yang berkualitas.

Saya memiliki dua (2) anak. Kedua anak saya mengalami sekolah swasta dan negeri. Itu sebuah pilihan berdasarkan berbagai faktor.

Latihan Kepemimpinan Dasar. (Foto: Dok. Pribadi) 

Bagi saya sekolah swasta dan negeri memang memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan (politik) pemerintah yang berdampak pada sekolah swasta dan negeri.

Dari pengalaman saya menjadi pendidik sejak tahun 2000 sebagai guru maupun sebagai pengelola (kepala sekolah dan pernah di Yayasan-yang adalah penyelenggara sekolah swasta) memang ada perlakuan yang sangat berbeda dari pemerintah terhadap sekolah swasta dan negeri. Perlakuan ini yang sesungguhnya sangat menentukan kualitas sekolah. 

Sekolah negeri diperlakukan sebagai anak yang mendapatkan kecukupan asupan gizi dalam pertumbuhannya. Pembiayaan dalam menjalankan pendidikan ditanggung oleh pemerintah.