Halte Transjakarta di depan Gedung Kenanga, Jalan Senen Raya, menyajikan pemandangan yang ironis.
Fasilitas yang seharusnya menjadi tempat tunggu penumpang bus Transjakarta, justru berubah menjadi pangkalan ojek online (selanjutnya disingkat ojol).
Sepeda motor diparkir di dalam atau di belakang halte. Para pengemudi ojol duduk santai di kursi halte sambil berbincang dengan rekan, menunggu notifikasi orderan di ponsel mereka.
Bukan hanya pengemudi ojol saja, pedagang asongan juga ikut memanfaatkan halte sebagai tempat berteduh, duduk-duduk di kursi halte, seraya menunggu pembeli.
Akibatnya, hampir seluruh tempat duduk di halte diduduki oleh pengemudi ojol dan pedagang asongan.
Penumpang Transjakarta yang datang terpaksa berdiri menunggu bus, meskipun sebenarnya tempat duduk tersedia, namun telah diokupasi (pendudukan, penguasaan) oleh pihak lain.
Kondisi ini tidak hanya mengganggu kenyamanan penumpang, tetapi juga menciptakan pemandangan kota yang tak beraturan.
Halte yang seharusnya menjadi simbol transportasi publik yang tertib dan modern, justru terlihat seperti terminal dadakan yang kumuh dan tidak terkelola.
Pemandangan serupa, hampir sering terlihat di berbagai wilayah di Jakarta. Satpol PP memang sering melakukan penertiban terhadap parkir liar dan penyalahgunaan halte, tetapi efeknya hanya sesaat.
Setelah petugas pergi, pengemudi ojol dan pedagang asongan kembali menduduki halte. Pola ini berulang tanpa henti, menunjukkan bahwa pendekatan penertiban semata tidak efektif untuk menyelesaikan masalah.