Sabtu, 4 Oktober 2025, pukul 15.38 WIB, saya tiba di kawasan RW 011 Manggarai, Jakarta Selatan. Google Map membawa saya ke sebuah gapura bertuliskan "Selamat Datang di RW 011 Manggarai."
Saya parkir motor di pinggir jalan, dekat sebuah bengkel kecil. Tujuan saya hari ini sederhana: mengunjungi Menara Air Balai Yasa Manggarai, yang baru saja ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemprov DKI Jakarta.
"Bu, permisi mau tanya, kalau ke Menara Air lewat mana, ya?" tanya saya kepada seorang ibu yang sedang duduk makan di teras rumahnya.
"Mas jalan terus, nanti ada tangga kecil, lalu masuk saja ke dalam. Cuma pintu Menara Airnya dikunci," jawabnya sambil menunjuk ke dalam gang.
Saya mengikuti petunjuknya. Melewati gang kecil dengan tangga, saya akhirnya berdiri persis di bawah menara yang selama ini hanya saya lihat dari kejauhan.
Bangunan setinggi 23 meter ini, ternyata tidak sendirian. Di sekitarnya berdiri tiga bangunan: Paud Menara Indah, Musholla Nurul Iman, dan sebuah rumah kecil persis di depan pintu masuk menara.
Yang menarik, menara ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar, sehingga dari jalan raya bangunannya hampir tertutup. Hanya orang yang tahu atau sengaja mencari yang bisa menemukannya.
Di pelataran, seorang anak kecil sedang bermain layang-layang. Beberapa anak remaja asyik duduk di teras Paud, mengobrol sambil sesekali tertawa.
Suasana terasa tenang, jauh dari hiruk pikuk Jalan Manggarai Raya yang berjarak hanya beberapa puluh meter.
Pintu masuk ke dalam menara terbuat dari besi yang selalu digembok. Artinya, tidak sembarang orang boleh masuk.
Wajar, karena menara ini masih berfungsi sebagai tempat penampungan air oleh PT Kereta Api Indonesia hingga sekarang.
Menurut laporan Kompas.com, air yang ditampung berasal dari sumur di sekitar menara, lalu dialirkan dengan pipa distribusi ke Balai Yasa Manggarai kalau dibutuhkan.
Saya mendekati bangunan dan menyentuh tembok yang terbuat dari batu bata merah. Teksturnya kasar.
Batu bata terlihat mulai rontok di beberapa bagian, semen tipis yang melapisinya mengelupas karena terpapar sinar matahari dan hujan bertahun-tahun.
Saya berusaha melihat ke dalam melalui celah jendela berukuran kecil. Ada sebuah tangga berwarna hitam menuju ke lantai dua.
Pada bagian atas, sekitar 16 meter dari permukaan tanah, terdapat dua buah pipa besi besar menojol keluar.
Di ketinggian itu, menurut beberapa sumber, terdapat lantai dua yang di dalamnya ada bak penampungan air raksasa terbuat dari semen.
Yang membuat saya prihatin adalah keberadaan tumbuhan liar di atap bangunan. Rumput dan semak kecil tumbuh di sela-sela genteng dan celah tembok bagian atas.
Kalau dibiarkan terus, akar tumbuhan itu akan merusak struktur tembok. Beberapa ulasan pengunjung di internet juga menyebutkan keprihatinan serupa.
Menara Air Balai Yasa Manggarai memang bukan bangunan sembarangan. Menurut beberapa sumber, menara ini telah berdiri sejak tahun 1920-an, menjadikannya berusia lebih dari 100 tahun.
Bangunan ini dipengaruhi oleh gaya arsitektur nieuwe kunst atau arsitektur Hindia Baru yang populer pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20.
Penetapannya sebagai bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 403 Tahun 2025 pada 14 Mei 2025, seharusnya menjadi titik awal pelestarian yang serius, bukan sekadar formalitas administrasi.
Namun kenyataannya, hingga hampir lima bulan setelah penetapan, kondisi menara masih memprihatinkan.
Tidak ada tanda-tanda perawatan intensif. Tidak ada papan informasi yang menjelaskan sejarah panjang bangunan ini.
Tidak ada fasilitas pendukung untuk wisatawan yang mungkin tertarik berkunjung. Bahkan akses menuju menara pun tidak jelas, saya harus bertanya kepada warga lokal untuk menemukannya.
Padahal, kalau dikelola dengan serius, Menara Air Manggarai memiliki potensi ekonomi dan budaya yang menjanjikan.
Bayangkan, kalau Pemprov DKI benar-benar merawat bangunan ini: tumbuhan liar pada atap dibersihkan secara berkala, semen pada dinding yang mengelupas ditambal dengan material yang sesuai tanpa mengurangi keaslian bangunan, dan struktur batu bata yang mulai rapuh diperkuat.
Tentu bukan pekerjaan yang mustahil, hanya butuh komitmen dan anggaran yang dialokasikan secara konsisten. Lebih dari itu, menara ini bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata heritage yang menarik.
Bangunan Paud yang berada di samping menara bisa dialihfungsikan menjadi museum mini yang menjelaskan sejarah panjang menara, perkembangan sistem penyediaan air untuk kereta api, dan arsitektur nieuwe kunst.
Pada halaman yang masih kosong, bisa ditambahkan bangunan modern seperti kafe dengan desain yang harmonis dengan bangunan heritage, sebuah ruang di mana wisatawan bisa beristirahat sambil menikmati pemandangan menara dari dekat.
Promosi juga perlu ditingkatkan. Pemprov DKI bisa menggandeng para konten kreator yang fokus pada wisata heritage Jakarta untuk memperkenalkan menara ini ke publik yang lebih luas.
Pasang papan informasi di Stasiun Manggarai yang berjarak tidak jauh, lengkapi dengan peta dan petunjuk arah.
Libatkan warga lokal dalam pengelolaan, mereka yang paling tahu sejarah dan karakter kawasan ini.
Sore itu, sebelum meninggalkan lokasi, saya mengobrol sebentar dengan seorang bapak tua tentang keberadaan kali kecil, yang mengalir di dekat menara. Ia mengaku tidak tahu nama kali kecil itu.
Menara Air Manggarai sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, tapi penetapan itu akan sia-sia kalau tidak diikuti dengan tindakan nyata.
Pelestarian bukan sekadar soal memberi label, tapi soal komitmen jangka panjang untuk merawat, mengelola, dan menghidupkan kembali warisan budaya itu, agar bermakna bagi generasi sekarang dan mendatang.
Menara Air Manggarai layak mendapat perhatian serius. Bukan besok, bukan tahun depan, melainkan sekarang, sebelum terlambat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI