Wajar, karena menara ini masih berfungsi sebagai tempat penampungan air oleh PT Kereta Api Indonesia hingga sekarang.
Menurut laporan Kompas.com, air yang ditampung berasal dari sumur di sekitar menara, lalu dialirkan dengan pipa distribusi ke Balai Yasa Manggarai kalau dibutuhkan.
Saya mendekati bangunan dan menyentuh tembok yang terbuat dari batu bata merah. Teksturnya kasar.
Batu bata terlihat mulai rontok di beberapa bagian, semen tipis yang melapisinya mengelupas karena terpapar sinar matahari dan hujan bertahun-tahun.
Saya berusaha melihat ke dalam melalui celah jendela berukuran kecil. Ada sebuah tangga berwarna hitam menuju ke lantai dua.
Pada bagian atas, sekitar 16 meter dari permukaan tanah, terdapat dua buah pipa besi besar menojol keluar.
Di ketinggian itu, menurut beberapa sumber, terdapat lantai dua yang di dalamnya ada bak penampungan air raksasa terbuat dari semen.
Yang membuat saya prihatin adalah keberadaan tumbuhan liar di atap bangunan. Rumput dan semak kecil tumbuh di sela-sela genteng dan celah tembok bagian atas.
Kalau dibiarkan terus, akar tumbuhan itu akan merusak struktur tembok. Beberapa ulasan pengunjung di internet juga menyebutkan keprihatinan serupa.
Menara Air Balai Yasa Manggarai memang bukan bangunan sembarangan. Menurut beberapa sumber, menara ini telah berdiri sejak tahun 1920-an, menjadikannya berusia lebih dari 100 tahun.
Bangunan ini dipengaruhi oleh gaya arsitektur nieuwe kunst atau arsitektur Hindia Baru yang populer pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20.