Pemerintah DKI perlu membuat regulasi yang mewajibkan pengembang untuk menyediakan ruang bagi usaha kecil dengan harga sewa terjangkau dalam setiap proyek komersial.
Model pasar rakyat modern yang mengintegrasikan pedagang tradisional dengan fasilitas kontemporer dapat menjadi solusi.
Kemang, seharusnya, tidak hanya menjadi surga bagi kelas menengah, tetapi juga tetap dapat dinikmati oleh warga dari berbagai latar belakang ekonomi.
Subsidi silang dari bisnis besar untuk mendukung usaha kecil lokal harus dilembagakan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial pengembang.
Kedua, integrasikan perencanaan infrastruktur hijau dalam setiap revitalisasi kawasan. Revitalisasi tidak boleh hanya fokus pada estetika visual, tetapi harus mengatasi masalah lingkungan mendasar.
Untuk Kemang, sistem pengendalian banjir yang terintegrasi dengan pengelolaan sungai Krukut dan Mampang harus menjadi prioritas.
Pembangunan sumur resapan, taman hujan, dan area hijau yang berfungsi sebagai bantalan banjir harus diwajibkan. Pembatasan ketat terhadap alih fungsi lahan menjadi komersial perlu ditegakkan demi menjaga keseimbangan ekologis.
Sistem transportasi berbasis angkutan umum harus dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mengatasi kemacetan. Kawasan tanpa kabel memang bagus, tetapi kawasan tanpa banjir dan tanpa macet jauh lebih penting.
Ketiga, jaga dan revitalisasi identitas budaya lokal secara autentik, bukan sekadar simbolik. Pemerintah DKI perlu memfasilitasi kembalinya atau pelestarian komunitas Betawi di Kemang, bukan hanya memasang ornamen Betawi di tiang lampu.
Buat program perumahan terjangkau khusus bagi warga Betawi yang ingin kembali ke Kemang atau tetap bertahan di sana. Dukung usaha kuliner, kerajinan, dan seni Betawi untuk berkembang di Kemang dengan insentif khusus dan ruang usaha yang terjamin.
Bangun pusat budaya Betawi di Kemang yang tidak hanya menjadi museum, tetapi juga ruang hidup bagi praktik budaya kontemporer komunitas Betawi.