Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Kemang Terkeren di Dunia, Prestasi atau Peringatan?

1 Oktober 2025   23:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:48 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muda-mudi di Jalan Kemang Raya sedang bersantai di bawah bunga Tabebuya yang bermekaran, Minggu (17/9/2023). (Kompas.com/Wasti Samaria Simangunsong)

Pada 24 September 2025, majalah Time Out merilis daftar lingkungan paling keren di dunia untuk tahun ini. Yang mengejutkan banyak pihak, Kemang, kawasan di Jakarta Selatan, masuk dalam daftar bergengsi tersebut.

Sebutan 'paling keren' dalam pemeringkatan ini bukan sekadar tentang estetika lokasi, melainkan mencakup aspek yang luas: lingkungan penuh dengan seni, budaya, serta makanan dan minuman yang terjangkau. Kawasan yang dinilai juga harus mewakili jiwa kota, mempertahankan karakter lokal yang unik, serta menarik dikunjungi.

Pemeringkatan Time Out tahun 2025 ini menilai berbagai aspek: budaya, komunitas, kelayakan hunian, kehidupan malam, kuliner, kehidupan jalanan, hingga kemampuan mengikuti perkembangan zaman. Kemang dinilai memenuhi semua kriteria tersebut, karena nuansa kreatif dan bohemiannya yang khas.

Kawasan yang sebagian besar terletak di Kecamatan Mampang Prapatan ini dikenal penuh dengan galeri seni, toko desain, hingga butik. Saat malam tiba, Jalan Kemang Raya dan Jalan Bangka ramai dengan jajanan kaki lima yang menjadi magnet bagi pecinta kuliner.

Berbeda dengan SCBD yang terkenal dengan pusat hiburan malamnya, Kemang menawarkan bar dan kedai sederhana dengan suasana yang lebih akrab dan autentik.

Pencapaian ini semakin bermakna mengingat Kemang telah melalui revitalisasi signifikan. Sejak 27 Desember 2019, kawasan ini dijadikan percontohan tanpa kabel dengan trotoar yang lebar mencapai 2-5 meter membentang dari Jalan Kemang Raya hingga Jalan Kemang I.

Kabel-kabel udara yang sebelumnya semrawut kini dipindahkan ke jaringan bawah tanah. Lampu penerangan jalan dipasang dengan desain baru yang dilengkapi ornamen khas Betawi.

Setiap 100 meter tersedia kursi taman untuk warga yang ingin duduk atau beristirahat, dengan deretan pepohonan rindang yang menaungi trotoar (Kumparan).

Prestasi Kemang menyembunyikan persoalan struktural

Di balik kebanggaan atas pengakuan internasional terhadap Kemang, terdapat ironi yang tak boleh diabaikan. Kemang adalah pengecualian, bukan representasi Jakarta secara keseluruhan.

Dari ratusan kawasan di Jakarta, hanya Kemang yang berhasil masuk daftar Time Out, dan itu pun setelah melalui revitalisasi besar-besaran dengan anggaran yang tak sedikit

Pertanyaan krusialnya adalah: mengapa hanya Kemang? Apa yang membuat kawasan lain di Jakarta tidak memiliki kualitas yang sama?

Sejarah transformasi Kemang sendiri mengungkap persoalan perencanaan kota yang tidak matang. Pada tahun 1998, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, mengubah peruntukan Kemang dari perumahan menjadi kawasan komersial. Keputusan ini diperkuat tahun 1999 lewat SK Gubernur DKI Nomor 144, yang menyatakan Kemang sebagai 'kampung modern.'

Namun, kurangnya perencanaan perkotaan mengakibatkan kemacetan di jalanan Kemang yang relatif sempit. Per tahun 2008, 73 persen lahan dan permukiman di Kemang berubah fungsi menjadi lahan komersial.

Terletak di antara dua aliran Sungai Krukut dan Sungai Mampang tanpa pengendalian banjir yang memadai, Kemang pun rawan banjir setiap musim hujan. Saya sendiri sudah beberapa kali terjebak banjir di Kemang.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah hilangnya karakter asli Kemang sebagai kampung Betawi. Pada tahun 1950-an, Kemang adalah kampung di Kelurahan Bangka, merupakan kawasan perkebunan dengan pohon kemang, yang menjadi asal nama kawasan ini.

Pada 1970-an, kawasan ini berisi rumah kayu dengan penghuni yang hidup dari bertani dan berkebun. Mulai dikenal sebagai kawasan pemukiman mewah sejak 1980-an dan menjadi komunitas warga asing karena banyaknya penyewaan rumah kepada mereka.

Pada 1990-an, sebagian besar warga Betawi penghuni asli Kemang sudah pindah ke selatan Jakarta seperti Ciganjur, Jagakarsa, Depok, dan Bogor.

Gentrifikasi yang terjadi telah mengusir penduduk asli dan mengubah Kemang menjadi kantong eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh kelas menengah ke atas.

Model Kemang tidak berkelanjutan dan tidak dapat direplikasi

Saya berpendapat, bahwa meskipun pengakuan Time Out terhadap Kemang patut diapresiasi, model pembangunan yang diterapkan di Kemang tidak berkelanjutan dan tidak dapat dijadikan blueprint untuk kawasan lain di Jakarta.

Kemang berhasil menjadi 'keren' dengan mengorbankan inklusivitas sosial, kelestarian lingkungan, dan karakter budaya lokalnya. Ini adalah kemenangan yang semu, jika kita melihatnya dari perspektif pembangunan kota yang adil dan berkelanjutan.

Argumen pertama berkaitan dengan eksklusivitas ekonomi. Kemang menjadi 'keren' karena dipenuhi galeri seni, toko desain, butik, bar, dan restoran yang sebagian besar hanya terjangkau oleh kelas menengah ke atas.

Meskipun Time Out menyebut makanan dan minuman yang 'terjangkau' sebagai salah satu kriteria, realitas di lapangan menunjukkan harga di Kemang jauh lebih tinggi dibanding kawasan lain di Jakarta.

Jajanan kaki lima di Jalan Kemang Raya dan Jalan Bangka memang ada, tetapi mereka semakin terdesak oleh bisnis formal yang lebih menguntungkan secara ekonomi.

Model pembangunan yang mengutamakan daya tarik komersial, tanpa mempertimbangkan keterjangkauan bagi warga lokal, merupakan bentuk gentrifikasi yang halus namun sistematis.

Argumen kedua menyangkut kelestarian lingkungan. Meskipun revitalisasi trotoar dan pemindahan kabel ke bawah tanah adalah langkah positif, masalah struktural Kemang tidak lantas terselesaikan.

Kawasan ini tetap rawan banjir karena terletak di antara dua sungai tanpa sistem pengendalian banjir yang memadai. Perubahan 73 persen lahan menjadi komersial berarti berkurangnya area resapan air, yang justru memperparah risiko banjir.

Kemacetan, juga masih menjadi masalah kronis karena jalanan yang sempit tidak dirancang untuk menampung volume kendaraan yang tinggi akibat aktivitas komersial.

Revitalisasi yang hanya fokus pada estetika permukaan, tanpa mengatasi masalah infrastruktur mendasar, merupakan pendekatan yang tak berkelanjutan.

Argumen ketiga berkaitan dengan hilangnya identitas budaya. Kemang yang dulunya adalah kampung Betawi dengan masjid bergaya tradisional Jawa, rumah kayu, dan kehidupan agraris, kini telah berubah total.

Warga Betawi asli telah tergusur ke pinggiran Jakarta sejak 1990-an. Ornamen Betawi di tiang lampu yang dipasang saat revitalisasi terasa seperti simulakrum, penanda budaya yang kosong tanpa komunitas asli yang mempraktikkannya.

Ini adalah bentuk komodifikasi budaya: Betawi dijual sebagai estetika, bukan sebagai kehidupan yang riil. Model pembangunan yang mengorbankan komunitas lokal demi menciptakan kawasan yang 'keren' bagi wisatawan dan kelas menengah adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap identitas kota.

Tiga prinsip pembangunan kawasan yang inklusif dan berkelanjutan

Pertama, terapkan prinsip pembangunan kawasan yang inklusif secara sosial-ekonomi. Setiap revitalisasi kawasan harus memastikan warga lokal, termasuk pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah, tidak tergusur atau terpinggirkan.

Pemerintah DKI perlu membuat regulasi yang mewajibkan pengembang untuk menyediakan ruang bagi usaha kecil dengan harga sewa terjangkau dalam setiap proyek komersial.

Model pasar rakyat modern yang mengintegrasikan pedagang tradisional dengan fasilitas kontemporer dapat menjadi solusi.

Kemang, seharusnya, tidak hanya menjadi surga bagi kelas menengah, tetapi juga tetap dapat dinikmati oleh warga dari berbagai latar belakang ekonomi.

Subsidi silang dari bisnis besar untuk mendukung usaha kecil lokal harus dilembagakan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial pengembang.

Kedua, integrasikan perencanaan infrastruktur hijau dalam setiap revitalisasi kawasan. Revitalisasi tidak boleh hanya fokus pada estetika visual, tetapi harus mengatasi masalah lingkungan mendasar.

Untuk Kemang, sistem pengendalian banjir yang terintegrasi dengan pengelolaan sungai Krukut dan Mampang harus menjadi prioritas.

Pembangunan sumur resapan, taman hujan, dan area hijau yang berfungsi sebagai bantalan banjir harus diwajibkan. Pembatasan ketat terhadap alih fungsi lahan menjadi komersial perlu ditegakkan demi menjaga keseimbangan ekologis.

Sistem transportasi berbasis angkutan umum harus dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mengatasi kemacetan. Kawasan tanpa kabel memang bagus, tetapi kawasan tanpa banjir dan tanpa macet jauh lebih penting.

Ketiga, jaga dan revitalisasi identitas budaya lokal secara autentik, bukan sekadar simbolik. Pemerintah DKI perlu memfasilitasi kembalinya atau pelestarian komunitas Betawi di Kemang, bukan hanya memasang ornamen Betawi di tiang lampu.

Buat program perumahan terjangkau khusus bagi warga Betawi yang ingin kembali ke Kemang atau tetap bertahan di sana. Dukung usaha kuliner, kerajinan, dan seni Betawi untuk berkembang di Kemang dengan insentif khusus dan ruang usaha yang terjamin.

Bangun pusat budaya Betawi di Kemang yang tidak hanya menjadi museum, tetapi juga ruang hidup bagi praktik budaya kontemporer komunitas Betawi.

Kolaborasi dengan tokoh masyarakat Betawi dan akademisi untuk memastikan revitalisasi kawasan tidak menghapus, melainkan memperkuat identitas lokal.

Model pembangunan yang menghargai sejarah dan komunitas lokal akan menciptakan kawasan yang tidak hanya 'keren' di mata turis, tetapi juga bermakna bagi warganya sendiri.

Penutup

Pengakuan Time Out terhadap Kemang sebagai salah satu lingkungan paling keren di dunia adalah prestasi yang patut disyukuri.

Namun, kita tidak boleh terlena oleh pengakuan ini, tanpa melihat secara kritis apa yang telah dikorbankan untuk mencapainya: penggusuran halus terhadap warga Betawi asli, gentrifikasi yang mengubah kawasan menjadi eksklusif, dan masalah lingkungan yang belum terselesaikan.

Kemang, adalah cermin yang menunjukkan ambiguitas: mampu menciptakan kawasan yang menarik bagi dunia, tetapi gagal memastikan pembangunan tersebut inklusif, berkelanjutan, dan menghormati identitas lokal.

Tiga prinsip yang saya tawarkan tadi: inklusivitas sosial-ekonomi, perencanaan infrastruktur hijau, dan pelestarian identitas budaya autentik, bukan hal yang mustahil dicapai.

Ini adalah pilihan yang membutuhkan keberanian, untuk tidak hanya mengejar pengakuan internasional, melainkan membangun kota yang adil bagi semua warganya.

Jakarta memiliki ratusan kawasan dengan potensi serupa Kemang: dari Kota Tua hingga Menteng, dari Glodok hingga Senen. Jika model Kemang direplikasi tanpa perbaikan mendasar, Jakarta akan menjadi kota dengan beberapa kantong 'keren' yang eksklusif, dikelilingi oleh kawasan yang tertinggal dan terpinggirkan.

Saatnya bagi wilayah-wilayah lain di Jakarta belajar dari Kemang, baik dari keberhasilannya maupun dari kegagalannya, untuk membangun masa depan kota yang lebih adil dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun