Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Kemang Terkeren di Dunia, Prestasi atau Peringatan?

1 Oktober 2025   23:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:48 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun Time Out menyebut makanan dan minuman yang 'terjangkau' sebagai salah satu kriteria, realitas di lapangan menunjukkan harga di Kemang jauh lebih tinggi dibanding kawasan lain di Jakarta.

Jajanan kaki lima di Jalan Kemang Raya dan Jalan Bangka memang ada, tetapi mereka semakin terdesak oleh bisnis formal yang lebih menguntungkan secara ekonomi.

Model pembangunan yang mengutamakan daya tarik komersial, tanpa mempertimbangkan keterjangkauan bagi warga lokal, merupakan bentuk gentrifikasi yang halus namun sistematis.

Argumen kedua menyangkut kelestarian lingkungan. Meskipun revitalisasi trotoar dan pemindahan kabel ke bawah tanah adalah langkah positif, masalah struktural Kemang tidak lantas terselesaikan.

Kawasan ini tetap rawan banjir karena terletak di antara dua sungai tanpa sistem pengendalian banjir yang memadai. Perubahan 73 persen lahan menjadi komersial berarti berkurangnya area resapan air, yang justru memperparah risiko banjir.

Kemacetan, juga masih menjadi masalah kronis karena jalanan yang sempit tidak dirancang untuk menampung volume kendaraan yang tinggi akibat aktivitas komersial.

Revitalisasi yang hanya fokus pada estetika permukaan, tanpa mengatasi masalah infrastruktur mendasar, merupakan pendekatan yang tak berkelanjutan.

Argumen ketiga berkaitan dengan hilangnya identitas budaya. Kemang yang dulunya adalah kampung Betawi dengan masjid bergaya tradisional Jawa, rumah kayu, dan kehidupan agraris, kini telah berubah total.

Warga Betawi asli telah tergusur ke pinggiran Jakarta sejak 1990-an. Ornamen Betawi di tiang lampu yang dipasang saat revitalisasi terasa seperti simulakrum, penanda budaya yang kosong tanpa komunitas asli yang mempraktikkannya.

Ini adalah bentuk komodifikasi budaya: Betawi dijual sebagai estetika, bukan sebagai kehidupan yang riil. Model pembangunan yang mengorbankan komunitas lokal demi menciptakan kawasan yang 'keren' bagi wisatawan dan kelas menengah adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap identitas kota.

Tiga prinsip pembangunan kawasan yang inklusif dan berkelanjutan

Pertama, terapkan prinsip pembangunan kawasan yang inklusif secara sosial-ekonomi. Setiap revitalisasi kawasan harus memastikan warga lokal, termasuk pedagang kaki lima dan usaha kecil menengah, tidak tergusur atau terpinggirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun