Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Wisatawan Datang Berjuta, Pergi Tanpa Jejak: Dilema Pariwisata Jakarta

30 September 2025   23:03 Diperbarui: 30 September 2025   23:50 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam acara bertemakan "JEF Dialogue: Unlocking Jakarta's Potential Through Tourism and Creative Economy" di Jakarta, Selasa (24/9/2025), Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta, Andhika Permata, menyampaikan data yang mengejutkan.

Dilansir dari CNN Indonesia, sepanjang tahun 2024, pergerakan wisatawan di Jakarta mencapai belasan juta, dengan Jakarta Selatan mencatat rekor tertinggi 25,1 juta perjalanan, disusul Jakarta Pusat 17,5 juta, Jakarta Timur 14,5 juta, Jakarta Utara 13,2 juta, Jakarta Barat 13 juta, dan Kepulauan Seribu 182 ribu.

Akan tetapi, di balik angka fantastis tersebut, sebetulnya tersimpan paradoks yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data BPS tahun 2024, rata-rata lama tinggal wisatawan mancanegara di Jakarta hanya dua hari, sementara wisatawan nusantara, bahkan lebih singkat lagi, yakni 1,53 hari.

Andhika mengakui dengan jujur, meskipun data perjalanan memang tinggi, lama tinggal wisatawan di Jakarta masih tergolong rendah. Meski pemerintah daerah gencar melakukan promosi wisata di dalam dan luar negeri, serta menguatkan kampanye digital, usaha tersebut belum cukup membuat wisatawan betah berlama-lama di ibu kota.

Dalam forum yang sama, konten kreator pariwisata Kadek Arini memberikan perspektif komparatif dengan mencontohkan pengalamannya berlibur di Tokyo, Jepang. Begitu tiba di bandara Haneda atau Narita, wisatawan langsung disambut pusat informasi yang memandu dengan mudah.

Selain akses transportasi yang sangat bagus, keramahan masyarakat, kuliner beragam, dan banyaknya ruang publik gratis membuat wisatawan betah berlama-lama, meskipun tiket pesawat dan hotel di Tokyo jauh lebih mahal dari Jakarta.

Tingginya kunjungan tak berbanding lurus dengan dampak ekonomi

Paradoks antara tingginya jumlah kunjungan dan rendahnya durasi tinggal menciptakan masalah serius bagi ekonomi pariwisata Jakarta.

Durasi tinggal yang singkat berarti pengeluaran wisatawan juga terbatas. Wisatawan yang hanya tinggal 1 hingga 2 hari cenderung hanya menginap satu malam, makan beberapa kali, dan mengunjungi satu atau dua destinasi.

Potensi ekonomi dari sektor akomodasi, kuliner, transportasi, hiburan, dan belanja tidak teroptimalkan dengan baik. Padahal, sektor pariwisata, seharusnya menjadi efek pengganda yang signifikan bagi perekonomian daerah.

Mobile positioning Data mencatat pergerakan wisatawan dengan durasi kunjungan minimal enam jam menunjukkan, mayoritas wisatawan datang ke Jakarta hanya sebagai gerbang menuju destinasi lain, bukan sebagai destinasi final yang menarik untuk dieksplorasi lebih dalam.

Kondisi ini tentu kontras dengan potensi besar yang dimiliki Jakarta sebagai kota metropolitan kaya akan sejarah, budaya, dan destinasi modern.

Urgensi masalah ini semakin nyata, ketika dibandingkan dengan kota-kota kompetitor di Asia Tenggara. Singapura, Bangkok, dan Kuala Lumpur berhasil membuat wisatawan tinggal rata-rata 3-5 hari dengan strategi pencitraan destinasi yang kuat dan pengalaman wisata yang berkesan.

Jakarta, dengan populasi lebih besar dan potensi budaya yang lebih beragam, seharusnya mampu bersaing. Namun, fakta wisatawan nusantara hanya tinggal 1,53 hari menunjukkan, bahwa bahkan warga Indonesia sendiri tidak melihat Jakarta sebagai destinasi menarik untuk berlibur lebih lama.

Jakarta gagal menciptakan pengalaman wisata yang kohesif dan berkesan

Hemat saya, akar permasalahan rendahnya durasi tinggal wisatawan di Jakarta adalah kegagalan untuk menciptakan pengalaman wisata yang kohesif, mudah diakses, dan berkesan.

Jakarta memiliki aset wisata yang melimpah, mulai dari Kota Tua yang bersejarah, kawasan kuliner Blok M-Senopati, pusat belanja modern, hingga pantai Ancol dan Kepulauan Seribu. Namun aset-aset ini, tersebar tanpa narasi yang mengikat dan sistem transportasi yang mengintegrasikannya dengan baik.

Perbandingan dengan Tokyo yang disampaikan Kadek Arini sangat relevan. Di Tokyo, sejak mendarat di bandara, wisatawan sudah mendapat pengalaman mulus: pusat informasi yang informatif, transportasi publik yang terintegrasi penuh, papan petunjuk dalam berbagai bahasa, dan ruang publik berkualitas yang gratis.

Jakarta, sebaliknya, masih menghadapi tantangan mendasar dalam hal-hal tersebut. Bandara Soekarno-Hatta belum memiliki pusat informasi wisata yang komprehensif.

Sistem transportasi publik, meskipun telah berkembang dengan adanya MRT dan LRT, belum terintegrasi penuh dan belum menjangkau seluruh destinasi wisata penting di Jakarta hingga Kepulauan Seribu.

Argumen saya ini diperkuat oleh fakta, bahwa Pemprov DKI telah melakukan berbagai usaha, mulai dari penerbitan Keputusan Gubernur tentang pedoman pariwisata urban pada 2022, pengembangan kawasan terpadu seperti Kota Tua dan Glodok, revitalisasi M-Bloc dan Pos-Bloc, hingga optimalisasi taman kota seperti Lapangan Banteng dan Taman Tebet.

Bahkan, Taman Bendera Pusaka sedang dibangun sebagai bagian dari penguatan pariwisata urban. Namun, semua usaha ini masih bersifat fragmentasi tanpa strategi holistik yang menghubungkan titik-titik wisata menjadi satu perjalanan yang menarik bagi wisatawan.

Masalah lain yang krusial adalah kurangnya proposisi penjualan unik Jakarta sebagai destinasi wisata. Ketika ditanya mengapa harus berlama-lama di Jakarta, jawaban yang muncul sering kali tidak sekuat kota-kota kompetitor.

Bangkok punya makanan jalanan dan kuil megah, Singapura punya kebersihan dan efisiensi, Putrajaya Malaysia punya gedung-gedung pemerintahan dan taman-taman yang rapi? Jakarta masih mencari identitas yang kuat.

Promosi wisata yang gencar tanpa substansi pengalaman yang baik hanya akan menciptakan ekspektasi yang tidak terpenuhi, bahkan bisa kontraproduktif bagi citra destinasi.

Tiga pilar transformasi pariwisata Jakarta

Pertama, bangun ekosistem informasi dan transportasi wisata yang terintegrasi. Pemprov DKI harus segera membangun pusat informasi wisata di semua pintu masuk Jakarta, bandara, stasiun kereta, terminal bus, yang dilengkapi staf multilingual dan teknologi digital interaktif.

Kembangkan aplikasi wisata Jakarta yang terintegrasi dengan sistem transportasi publik, memberikan informasi real-time tentang rute, jadwal, dan paket wisata tematik.

Buat kartu wisata Jakarta yang memberikan akses tak terbatas ke transportasi publik dan diskon di destinasi wisata, restoran, dan toko suvenir, mirip Tokyo Metro Pass atau Singapore Tourist Pass.

Integrasikan semua moda transportasi, MRT, LRT, Transjakarta, hingga Jak Lingko, dengan sistem pembayaran tunggal dan informasi yang mudah dipahami oleh wisatawan.

Investasi dalam papan petunjuk bilingual atau multilingual di seluruh kota, terutama di kawasan wisata dan stasiun transportasi.

Kedua, ciptakan paket wisata tematik berbasis cerita yang kohesif. Alih-alih mempromosikan destinasi secara terpisah, kembangkan paket wisata tematik yang menghubungkan berbagai lokasi dengan narasi yang menarik.

Misalnya: "Jejak Kolonial Jakarta" yang menghubungkan Kota Tua, Museum Fatahillah, Glodok, hingga kawasan Menteng dengan cerita sejarah yang memikat.

"Perjalanan Kuliner Jakarta" yang mengajak wisatawan menjelajahi dari kuliner Betawi tradisional di Setu Babakan, makanan jalanan Pecenongan, hingga santapan mewah di Senopati.

"Jakarta Seni & Kreatif" yang menghubungkan galeri seni, ruang kreatif seperti M-Bloc dan Jakarta Creative Hub, hingga pertunjukan seni di Taman Ismail Marzuki.

Setiap paket dilengkapi dengan tur berpemandu berkualitas, transportasi terintegrasi, dan pengalaman interaktif. Kolaborasi dengan konten kreator dan influencer untuk mempromosikan paket-paket ini dengan cerita yang menarik di media sosial.

Ketiga, maksimalkan ruang publik (Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Biru) berkualitas sebagai daya tarik gratis. Belajar dari Tokyo yang menawarkan banyak ruang publik gratis namun berkualitas, Jakarta harus mempercepat pengembangan dan penataan waduk dan taman-taman kota menjadi destinasi yang layak dikunjungi.

Taman Bendera Pusaka, Lapangan Banteng, dan taman-taman lainnya harus dilengkapi dengan fasilitas modern: WiFi gratis, toilet bersih, area duduk yang nyaman, pusat kuliner dengan pilihan makanan lokal, dan aktivitas terjadwal seperti pertunjukan seni, pasar kreatif, atau festival budaya berkala.

Kembangkan kawasan tepi air di Pantai Indah Kapuk, Ancol dan kawasan pesisir lainnya sebagai ruang publik yang dapat dinikmati gratis dengan pemandangan laut, jalur pejalan kaki, dan area rekreasi keluarga.

Buat dek observasi gratis di gedung-gedung tinggi yang memberikan pemandangan kota spektakuler, seperti yang ada di Tokyo atau Singapura. Jakarta bisa memanfaatkan Up At Thamrin Nine yang berada di Autograph Tower untuk menhadirkan pemandangan kota dari gedung setinggi 385 meter.

Ruang publik (RTH dan RTB) berkualitas tidak hanya menjadi daya tarik bagi wisatawan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga Jakarta sendiri.

Penutup

Jakarta memiliki semua bahan untuk menjadi destinasi wisata kelas dunia: sejarah yang kaya, keberagaman budaya, kuliner yang luar biasa, infrastruktur modern, dan populasi yang dinamis.

Namun, potensi ini belum diterjemahkan menjadi pengalaman wisata yang membuat orang betah atau ingin tinggal lebih lama. Angka 25,1 juta perjalanan di Jakarta Selatan, seharusnya menjadi berkah ekonomi, bukan sekadar statistik kosong.

Tiga solusi yang ditawarkan: ekosistem informasi dan transportasi terintegrasi, paket wisata tematik berbasis cerita, dan maksimalisasi ruang publik berkualitas, adalah langkah konkrit yang dapat segera diimplementasikan.

Transformasi Jakarta dari gerbang transit menjadi destinasi sejati membutuhkan perubahan paradigma: dari mempromosikan destinasi menjadi menciptakan pengalaman, dari membangun infrastruktur fisik menjadi membangun perjalanan berkesan, dari berpikir fragmentasi menjadi berpikir holistik.

Ketika wisatawan tidak lagi berkata "Jakarta hanya untuk transit," tetapi "Jakarta layak untuk dijelajahi lebih lama," saat itulah pariwisata Jakarta benar-benar mencapai potensinya.

Saatnya untuk Jakarta bertransformasi: dari kota yang ramai dikunjungi tapi cepat ditinggalkan, menjadi kota yang dikunjungi dengan antusias dan dikenang dengan hangat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun