Beberapa waktu lalu, di media sosial, kita dikejutkan dengan tumpukan limbah cangkang kerang yang tingginya mencapai lima meter di Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.
Berdasarkan pantauan Detik.com, Senin (22/9/2025), petugas Dinas Lingkungan Hidup turun ke lokasi untuk mengumpulkan sampah yang telah bercampur dengan limbah cangkang kerang tersebut.
Sedangkan, berdasarkan pantauan Kompas.com, puluhan anak bermain layang-layang, bola, dan berdiskusi di atas tumpukan limbah yang menyerupai dataran buatan.
Pedagang pun ramai mangkal di area tersebut, menjual telor, sosis, dan sempol ayam kepada anak-anak yang bermain.
Fenomena ini bukan hal yang baru. Limbah kulit kerang di Jalan Kalibaru Barat VI E telah menjadi persoalan yang belum terselesaikan selama bertahun-tahun.
Sebagian besar masyarakat Cilincing bekerja sebagai nelayan kerang hijau. Mereka tidak hanya menjual kerang mentah, tetapi juga mengolahnya terlebih dahulu.
Kerang direbus lalu memisahkan daging kerang dari kulitnya sebelum dijual ke pasaran. Praktik ini memudahkan pembeli, namun menciptakan masalah lingkungan yang serius.
Sejak dibangunnya tanggul laut di Jalan Kalibaru Barat, warga jadi kesulitan membuang kulit kerang langsung ke laut seperti kebiasaan lama mereka.
Akibatnya, limbah tersebut dibuang di pinggir pantai, tepat di dekat tanggul, dan terus menumpuk hingga membentuk 'gunung' yang kini menjadi viral.
Peristiwa ini menjadi alarm bagi kita semua: aktivitas ekonomi produktif tidak boleh menghasilkan kerusakan lingkungan yang permanen.
Ancaman ganda bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat
Penumpukan limbah cangkang kerang di Cilincing memicu pencemaran lingkungan multidimensi. Seperti apa dampak pencemarannya?
Pertama, limbah ini menyebabkan pendangkalan kawasan pesisir karena volume tumpukan yang masif. Akibatnya, lalu linta kapal nelayan menjadi terganggu.
Kedua, tumpukan cangkang bercampur dengan sampah rumah tangga, menimbulkan bau tidak sedap yang mengganggu permukiman warga.
Ketiga, dan yang paling mengkhawatirkan, tumpukan ini menjadi sarang penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat sekitar, terutama anak-anak yang menjadikannya tempat bermain.
Urgensi masalah ini terletak pada ketiadaan solusi sistematis. Warga tidak bisa membuang limbah cangkang kerang ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) karena sifatnya yang berbeda dari sampah rumah tangga biasa.
Pemerintah belum menyediakan fasilitas khusus untuk pengelolaan limbah jenis ini. Akibatnya, warga terjebak dalam pilihan sulit: terus menumpuk limbah di pinggir pantai atau menghentikan aktivitas ekonomi mereka sebagai pengolah kerang.
Lebih jauh lagi, masalah ini mencerminkan kegagalan paradigma pengelolaan limbah yang hanya fokus pada disposal (pembuangan) tanpa mempertimbangkan potensi ekonomi dari limbah tersebut.
Cangkang kerang adalah material yang tidak mudah terurai, namun di sisi lain memiliki karakteristik fisik yang ideal untuk diolah menjadi berbagai produk.
Ketiadaan infrastruktur dan pengetahuan untuk mengolah limbah ini menjadi akar permasalahan yang harus segera diatasi.
Ekonomi sirkular sebagai jalan keluar
Saya berpendapat, bahwa krisis limbah cangkang kerang di Cilincing harus didekati dengan paradigma ekonomi sirkular, bukan sekadar pengelolaan sampah konvensional.
Secara sederhana ekonomi sirkular adalah model ekonomi yang bertujuan mengeliminasi limbah dengan merancang ulang sistem produksi dan konsumsi, sehingga 'sampah' dapat menjadi 'sumber daya.'
Dalam konteks Cilincing, cangkang kerang yang selama ini dianggap limbah sesungguhnya adalah bahan baku industri kreatif yang bernilai ekonomi tinggi.
Data dari program TJSL PELNI membuktikan, bahwa cangkang kerang dapat diolah menjadi souvenir, dekorasi rumah, media tanam, hingga bahan bangunan seperti paving block ramah lingkungan.
Setiap kategori produk ini memiliki pasar yang potensial. Di negara-negara seperti Filipina dan Thailand, industri olahan cangkang kerang telah berkembang pesat dan menjadi sumber devisa.
Indonesia, dengan garis pantai lebih dari 54.000 kilometer dan ribuan komunitas nelayan kerang, seharusnya dapat mengikuti jejak tersebut.
Argumen ekonomi, juga mendukung pendekatan ini. Seandainya setiap rumah tangga pengolah kerang di Cilincing dapat menghasilkan produk kerajinan senilai Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan dari limbah yang selama ini terbuang percuma, dampak ekonominya akan signifikan.
Dengan estimasi ratusan keluarga nelayan kerang di Cilincing, potensi nilai ekonomi yang dapat diciptakan mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Ini belum termasuk efek multiplier dari penciptaan lapangan kerja di sektor pengolahan, pemasaran, dan distribusi loh.
Dari perspektif lingkungan, pendekatan ini juga lebih efektif dibanding metode disposal konvensional.
Mengangkut ribuan ton cangkang kerang ke tempat pembuangan akhir memerlukan biaya transportasi yang besar dan hanya memindahkan masalah dari satu lokasi ke lokasi lain.
Sebaliknya, mengolah limbah menjadi produk bernilai ekonomi mengurangi volume limbah secara signifikan sambil menciptakan nilai tambah.
Ini adalah win-win solution yang selaras dengan target pembangunan berkelanjutan/SDGs.
Pemerintah perlu bertindak tegas dan progresif
Saya mengambil posisi tegas bahwa pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, harus segera turun tangan dengan kebijakan yang progresif dan komprehensif.
Membiarkan situasi ini berlanjut sama dengan mengabaikan hak masyarakat pesisir untuk hidup di lingkungan yang sehat dan memiliki akses terhadap peluang ekonomi yang adil.
Warga Cilincing tidak boleh dipaksa untuk memilih antara mata pencaharian mereka dan kelestarian lingkungan, harus ada solusi yang mengakomodasi keduanya.
Pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan reaktif dengan hanya mengirim petugas kebersihan untuk mengangkut sampah secara periodik.
Yang dibutuhkan sekarang adalah transformasi struktural: membangun infrastruktur pengolahan limbah, menyediakan pelatihan keterampilan bagi warga, menciptakan akses pasar untuk produk olahan, dan memberikan insentif ekonomi untuk mendorong partisipasi masyarakat.
Ini bukan charity, melainkan investasi jangka panjang untuk pembangunan ekonomi hijau perkotaan.
Program TJSL PELNI yang telah diinisiasi patut diapresiasi, namun program serupa harus menjadi kewajiban, bukan sekadar inisiatif sukarela.
Regulasi CSR yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan, bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan pesisir berkontribusi nyata pada penyelesaian masalah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Tiga pilar transformasi bagi masyarakat pesisir Cilincing
Pertama, pemerintah harus segera membangun Pusat Pengolahan dan Pelatihan Cangkang Kerang di Cilincing.
Fasilitas ini akan berfungsi sebagai hub untuk mengumpulkan limbah cangkang kerang, memberikan pelatihan pengolahan kepada warga, dan menjadi showroom produk olahan.
Pemerintah dapat menggandeng institusi pendidikan seperti sekolah desain dan institut teknologi untuk mengembangkan desain produk yang inovatif dan sesuai dengan tren pasar.
Anggaran untuk fasilitas ini dapat dialokasikan dari APBD DKI Jakarta dengan justifikasi sebagai investasi pembangunan ekonomi hijau.
Kedua, ciptakan ekosistem pasar yang kuat untuk produk olahan cangkang kerang.
Pemerintah DKI harus mengeluarkan kebijakan khusus: menyediakan kios atau area khusus di pasar-pasar tradisional dan modern untuk produk kerajinan cangkang kerang.
Memberikan insentif pajak bagi pelaku usaha di sektor ini, dan mewajibkan penggunaan produk olahan cangkang kerang sebagai souvenir resmi instansi pemerintah.
Platform e-commerce juga harus dikembangkan dengan branding khusus 'Produk Hijau Pesisir Jakarta' untuk memperluas jangkauan pasar hingga nasional.
Kolaborasi dengan hotel, restoran, dan toko souvenir melalui business matching yang difasilitasi pemerintah akan menjamin stabilitas permintaan.
Ketiga, luncurkan program pemberdayaan masyarakat yang fokus pada kelompok rentan.
Program ini harus menargetkan ibu rumah tangga dan pemuda dengan memberikan pelatihan keterampilan, modal usaha, dan pendampingan berkelanjutan.
Bentuk kelompok usaha mandiri atau koperasi yang akan mengelola produksi dan pemasaran secara kolektif.
Pemerintah perlu mengalokasikan dana untuk modal awal, sambil memfasilitasi akses ke skema pembiayaan mikro dari lembaga keuangan.
Sertifikasi kompetensi bagi pengrajin akan meningkatkan profesionalisme dan kredibilitas produk di pasar.
Penutup
Viralnya tumpukan limbah cangkang di Cilincing bukan sekadar berita negatif, melainkan momentum untuk perubahan transformatif.
Krisis ini memaksa kita untuk berpikir ulang tentang bagaimana kita mengelola limbah di kawasan perkotaan padat seperti Jakarta.
Dengan pendekatan ekonomi sirkular yang tepat, dukungan kebijakan pemerintah yang progresif, dan partisipasi aktif masyarakat, Cilincing dapat bertransformasi dari kawasan yang tercemar menjadi model pembangunan ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan.
Model Cilincing dapat direplikasi oleh ribuan komunitas pesisir lainnya di Indonesia yang menghadapi persoalan serupa.
Ini bukan hanya tentang mengatasi masalah sampah, ini tentang membangun masa depan di mana pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan berjalan beriringan.
Masyarakat pesisir tidak lagi terpinggirkan melainkan menjadi agen perubahan, anak-anak tidak lagi bermain di atas tumpukan sampah melainkan melihat orang tua mereka menciptakan produk bernilai dari limbah.
Saatnya untuk mengubah limbah cangkang kerang menjadi berkah, dan Cilincing adalah tempat yang tepat untuk memulainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI