"Tolong jangan merokok di belakang, asapnya sampai ke sini dan menempel di baju kami. Kalau mau merokok di bawah saja, kan bisa. Istri saya sedang hamil, dia sensitif dengan bau rokok. Jangan egois, dong. Lagian, sudah ada larangan merokok di area hunian."
Kalimat itu, meluncur begitu saja dari mulut saya, tadi siang, begitu mencium bau asap rokok di area jemuran pakaian.
Saya tahu, sumbernya adalah seorang bapak yang sedang duduk santai merokok sambil telponan di sebelah hunian kami.
Ini bukan kejadian pertama. Sudah berkali-kali, dan selama ini saya dan istri menahan diri. Tapi hari ini, kesabaran saya benar-benar habis.
Area jemuran kami cuma dibatasi oleh tembok setengah terbuka dengan area jemuran tetangga.
Akibatnya, setiap kali ia merokok di belakang, bau asapnya langsung menyelinap ke hidung kami saat keluar ke jemuran atau menuju kamar ke mandi.
Kami sudah melaporkan kejadian ini ke pihak pengelola Rusun Pasar Rumput. Sayangnya, jawaban mereka justru membuat kami makin kesal.
"Tadi suami saya sudah tegur yang di sebelah karena merokok di area kamar mandi. Asapnya sampai masuk lewat pintu dapur. Tapi, suami saya tidak ada fotonya," tulis istri saya lewat WhatsApp kepada pengelola.
"Gak papa, Bapak/Ibu. Kami akan panggil yang bersangkutan. Jika diadakan duduk bareng, Bapak/Ibu bersedia?"
Lho, ini jelas melanggar aturan rusun yang melarang keras merokok di area hunian, terutama lorong-lorong. Mengapa kami, sebagai korban, justru diajak duduk bareng dengan pelaku?