Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Wisata Luar Angkasa: Menjadi Milik Segelintir, Bebannya Ditanggung Semua

28 April 2025   12:36 Diperbarui: 28 April 2025   12:36 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Katy Perry ke Luar Angkasa. (Dok. X Blue Origin)

Bintang pop Katy Perry sudah mencicipi luar angkasa. Tapi, siapa yang membayar harga sebenarnya?

Bukan cuma dirinya, bukan cuma mereka yang membeli tiket mahal, melainkan seluruh umat manusia---dalam bentuk udara yang lebih panas, es yang mencair, dan ketidakadilan yang semakin membesar.

Pada Senin, 14 April 2025 lalu, Katy Perry bersama lima orang lainnya mencatatkan sejarah baru dengan terbang ke luar angkasa dalam misi suborbital Blue Origin.

Dengan durasi hanya 11 menit, perjalanan ini dipuji sebagai pencapaian teknologi dan simbol baru inklusivitas dalam eksplorasi ruang angkasa.

Namun, di balik sorak-sorai itu, ada tiga persoalan besar yang harus kita hadapi: keadilan ekologis yang terancam, representasi yang bersifat kosmetik, dan ancaman ekologis massal yang siap meledak dalam waktu dekat.

Keadilan Ekologis yang Dipertaruhkan

Penerbangan luar angkasa swasta, yang dulunya hanya mimpi fiksi ilmiah, kini menjadi kenyataan---tetapi hanya untuk segelintir orang kaya.

Tiket dengan harga ratusan ribu hingga jutaan dolar memastikan bahwa pengalaman "melihat bumi dari luar" tetap menjadi privilese eksklusif.

Ironisnya, dampak lingkungan dari satu peluncuran roket---emisi karbon yang besar, polusi partikel hitam di atmosfer atas---tidak terbatas pada mereka yang ikut terbang.

Setiap manusia di bumi, termasuk mereka yang tidak pernah mendengar tentang wisata ruang angkasa, akan turut menanggung kerusakannya.

Di sinilah wajah ketidakadilan ekologis baru terbentuk: kenikmatan elit dibayar dengan penderitaan kolektif.

Negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, komunitas pesisir yang terancam naiknya permukaan air laut, hingga petani kecil yang gagal panen karena cuaca ekstrem---semua akan merasakan dampak dari satu keputusan konsumtif kelompok kecil berpenghasilan super tinggi.

Ini bukan sekadar ketidakadilan ekonomi; ini adalah perampasan hak atas lingkungan yang sehat; setuju?

Representasi yang Kosmetik

Banyak yang memuji keikutsertaan Katy Perry dan Amanda Nguyen sebagai langkah besar dalam representasi gender di dunia STEM.

Namun, kita harus bertanya lebih dalam: representasi untuk siapa? Apakah kehadiran selebritas perempuan dalam wisata ruang angkasa benar-benar membuka pintu akses bagi perempuan di seluruh dunia, atau hanya menjadi simbol kosong dalam industri yang tetap eksklusif?

Tanpa upaya serius untuk memperluas akses pendidikan sains, mengurangi biaya teknologi ruang angkasa, dan mendorong partisipasi dari berbagai latar belakang sosial, representasi ini hanyalah hiasan di permukaan.

Ia menutupi kenyataan bahwa, peluang untuk merasakan dan berkontribusi dalam eksplorasi ruang angkasa masih tetap terkonsentrasi di tangan minoritas kaya dan berkuasa.

Representasi sejati bukan sekadar menghadirkan sosok perempuan di atas roket.

Representasi sejati adalah ketika setiap anak, dari berbagai bangsa dan kelas sosial, memiliki peluang yang sama untuk bermimpi---dan mewujudkan mimpi itu---tanpa dibatasi oleh struktur ketidakadilan yang diwariskan.

Ancaman Ekologis Massal di Masa Depan

Saat ini, penerbangan ruang angkasa swasta masih terbatas jumlahnya.

Namun, dengan proyek seperti Orbital Reef---stasiun ruang angkasa komersial yang dikembangkan Blue Origin dan Sierra Space---visi masa depan adalah membuat wisata ruang angkasa menjadi mainstream.

Ini berarti ratusan, mungkin ribuan peluncuran roket setiap tahun. Lantas, apa dampaknya bagi planet kita?

Emisi karbon dari peluncuran roket bukan hanya berkontribusi pada pemanasan global, tetapi partikel hitam yang dihasilkan di atmosfer atas dapat mempercepat pencairan es dan memperburuk perubahan iklim secara tidak proporsional.

Tanpa inovasi bahan bakar bersih dan regulasi ketat, kita sedang menuju bencana ekologis yang lebih besar---dan ironi terbesar adalah, semua itu dilakukan demi pengalaman "11 menit gravitasi nol" untuk mereka yang mampu membayar.

Jika kita tidak hati-hati, wisata ruang angkasa akan menjadi bom ekologis waktu yang, ketika meledak, tidak akan membedakan antara mereka yang pernah terbang ke luar angkasa dan mereka yang tetap tinggal di bawah.

Penutup: Sebuah Refleksi

Sebagai penutup, saya ingin mengajak anda untuk berefleksi sejenak; kemajuan tanpa keadilan adalah jalan pintas menuju kehancuran.

Jika wisata ruang angkasa ingin menjadi simbol masa depan umat manusia, maka ia harus dibangun di atas prinsip keberlanjutan, kesetaraan, dan tanggung jawab ekologis---bukan di atas puing-puing bumi yang kita abaikan.

Saat industri ruang angkasa berlomba mencapai bintang-bintang, kita harus berani bertanya: adakah gunanya menemukan dunia baru, jika kita gagal menjaga dunia yang kita miliki saat ini?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun