Bintang pop Katy Perry sudah mencicipi luar angkasa. Tapi, siapa yang membayar harga sebenarnya?
Bukan cuma dirinya, bukan cuma mereka yang membeli tiket mahal, melainkan seluruh umat manusia---dalam bentuk udara yang lebih panas, es yang mencair, dan ketidakadilan yang semakin membesar.
Pada Senin, 14 April 2025 lalu, Katy Perry bersama lima orang lainnya mencatatkan sejarah baru dengan terbang ke luar angkasa dalam misi suborbital Blue Origin.
Dengan durasi hanya 11 menit, perjalanan ini dipuji sebagai pencapaian teknologi dan simbol baru inklusivitas dalam eksplorasi ruang angkasa.
Namun, di balik sorak-sorai itu, ada tiga persoalan besar yang harus kita hadapi: keadilan ekologis yang terancam, representasi yang bersifat kosmetik, dan ancaman ekologis massal yang siap meledak dalam waktu dekat.
Keadilan Ekologis yang Dipertaruhkan
Penerbangan luar angkasa swasta, yang dulunya hanya mimpi fiksi ilmiah, kini menjadi kenyataan---tetapi hanya untuk segelintir orang kaya.
Tiket dengan harga ratusan ribu hingga jutaan dolar memastikan bahwa pengalaman "melihat bumi dari luar" tetap menjadi privilese eksklusif.
Ironisnya, dampak lingkungan dari satu peluncuran roket---emisi karbon yang besar, polusi partikel hitam di atmosfer atas---tidak terbatas pada mereka yang ikut terbang.
Setiap manusia di bumi, termasuk mereka yang tidak pernah mendengar tentang wisata ruang angkasa, akan turut menanggung kerusakannya.
Di sinilah wajah ketidakadilan ekologis baru terbentuk: kenikmatan elit dibayar dengan penderitaan kolektif.