Pada suatu sore yang cerah, tepatnya tanggal 4 April 2025 sekitar pukul 15.30 WITA, saya tengah menikmati suasana tenang di Desa Korowou, Kecamatan Lembon, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Desa ini dikenal dengan keindahan alamnya yang asri dan masyarakatnya yang ramah. Saat itu, musim durian sedang mencapai puncaknya, dan aroma khas buah tersebut tercium di berbagai sudut desa.
Di tengah suasana tersebut, Tante Etmi, seorang mantan perawat yang tinggal di dekat rumah tempat saya menginap, datang berkunjung sambil membawa empat buah durian segar.
Kedatangan beliau dengan buah tangan istimewa itu sontak membuat saya sangat gembira. Sudah lama sekali saya tidak menikmati kelezatan durian, sehingga pemberian ini terasa seperti rezeki nomplok.
Tanpa menunggu lama, saya segera mengambil pisau dapur dan mulai membelah salah satu durian. Aroma manis dan tajam khas durian langsung menyeruak, menggugah selera saya.
Dengan hati-hati, saya mengeluarkan daging buahnya yang berwarna kuning keemasan dan tampak begitu menggoda.
Setiap suapan memberikan sensasi lembut dan manis yang memenuhi rongga mulut, membuat saya larut dalam kenikmatan.
Namun, belum selesai saya menikmati satu buah durian, saya mulai merasakan sensasi gatal yang tidak biasa di area wajah.
Awalnya, saya mengira ini hanyalah reaksi sementara yang akan segera hilang. Namun, rasa gatal tersebut semakin intens, disertai dengan kemerahan yang mulai tampak jelas di cermin.
Saat itu, saya belum menyadari bahwa saya mungkin mengalami reaksi alergi terhadap durian.
Alergi makanan terjadi ketika sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi protein tertentu dalam makanan sebagai ancaman, sehingga memicu respons berlebihan.
Gejala yang umum muncul meliputi ruam kulit, gatal-gatal, pembengkakan pada wajah, bibir, atau kelopak mata, gangguan pencernaan seperti mual, muntah, atau diare, serta sesak napas.
Dalam kasus saya, gatal dan kemerahan pada wajah menjadi indikasi awal dari reaksi alergi tersebut. Tante Etmi, dengan pengalamannya sebagai perawat, segera menyadari kondisi saya.
Beliau dengan sigap pergi ke rumah tetangga untuk mengambil air kelapa muda, sebuah solusi tradisional yang sering digunakan masyarakat setempat untuk meredakan berbagai keluhan kesehatan.
Air kelapa muda dikenal kaya akan elektrolit, vitamin, dan mineral, sehingga sering dimanfaatkan untuk mengatasi dehidrasi dan membantu proses detoksifikasi tubuh.
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa kandungan kalium yang tinggi dalam air kelapa dapat membantu mengurangi reaksi alergi dengan menetralkan alergen dalam tubuh.
Saya pun meminum air kelapa muda yang diberikan oleh Tante Etmi. Rasanya yang segar dan manis memberikan efek menenangkan, dan perlahan-lahan, rasa gatal di wajah mulai berkurang.
Sekitar satu jam kemudian, gejala alergi yang saya alami mereda secara signifikan. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa efektivitas air kelapa dalam meredakan gejala alergi mungkin berbeda pada setiap individu, dan belum ada bukti ilmiah yang kuat yang mendukung klaim tersebut.
Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi saya. Untuk mencegah terjadinya reaksi alergi di masa mendatang, saya memutuskan untuk menghindari konsumsi durian, meskipun buah tersebut sangat saya sukai.
Jika Anda mengalami reaksi alergi setelah mengonsumsi makanan tertentu, disarankan untuk segera mencari pertolongan medis dan berkonsultasi dengan dokter atau ahli alergi guna mendapatkan diagnosis yang tepat serta rekomendasi penanganan yang sesuai dengan kondisi Anda.
Namun, bila Anda sedang berada di daerah yang jauh dari akses layanan kesehatan seperti saya saat di Desa Korowou, air kelapa muda bisa menjadi pertolongan pertama yang patut dicoba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI