Tantangan dan Solusi Implementasi
Penerapan format Paideia menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal:
Budaya instan dan pragmatisme moral.
Keteladanan publik yang minim.
Kesenjangan sosial yang menciptakan godaan besar.
Namun, pendekatan ini juga membawa peluang besar jika dijalankan konsisten. Model ini dapat menjadi alternatif dari pendidikan yang terlalu teknokratik, membentuk generasi bukan hanya pintar, tetapi juga adil dan tangguh secara moral.
Korupsi dalam masyarakat bukan semata-mata kesalahan administrasi atau penyimpangan struktural, melainkan cerminan dari ketidakseimbangan jiwa manusia. Dalam karya monumentalnya, Republik, Platon menyatakan bahwa keadilan sejati hanya dapat tumbuh dalam jiwa yang tertata secara harmonis, yaitu ketika nalar, semangat, dan keinginan berada dalam tatanan yang benar. Dalam kerangka filsafatnya, korupsi adalah gejala dari keretakan internal jiwa, dan satu-satunya solusi jangka panjang adalah melalui proses Paideia, yakni pendidikan yang membentuk jiwa, bukan sekadar menjejalkan pengetahuan.
Pendidikan yang dimaksud Platon tidak menambah hafalan atau keterampilan teknis, melainkan mengubah arah jiwa, mengangkatnya dari bayang-bayang kebodohan menuju cahaya kebenaran. Dalam konteks modern, pendekatan ini menjadi sangat relevan ketika berbagai kebijakan antikorupsi sering kali gagal karena tidak menyentuh akar persoalan moral dan batiniah pelakunya.
1. Korupsi sebagai Gejala Ketidakadilan Jiwa
Platon tidak memandang keadilan hanya sebagai aturan hukum atau sistem sosial yang teratur, melainkan sebagai keseimbangan internal dalam jiwa manusia. Ia membagi jiwa menjadi tiga unsur utama:
Logos (rasio) -- bagian berpikir dan pencinta kebenaran;
Thumos (semangat moral) -- bagian kehormatan, keberanian, dan kemauan;