Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa kebijakan yang berlandaskan agama tidak membatasi hak individu, terutama bagi kelompok-kelompok yang rentan mengalami diskriminasi, seperti minoritas agama, perempuan, dan komunitas LGBTQ+. Kebijakan yang terlalu menitikberatkan pada interpretasi agama tertentu bisa berdampak pada pembatasan kebebasan berkeyakinan, baik bagi pemeluk agama yang berbeda maupun bagi individu yang memilih untuk tidak beragama.
Salah satu contoh konkret dalam persoalan ini adalah kasus Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Kedua kelompok ini sering kali menghadapi diskriminasi dan tekanan dari kelompok mayoritas yang menganggap mereka sebagai aliran sesat. Dalam beberapa kasus, tempat ibadah mereka ditutup atau bahkan diserang oleh kelompok-kelompok intoleran. Pemerintah, dalam beberapa situasi, tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi mereka, bahkan terkadang justru mengeluarkan kebijakan yang membatasi hak-hak mereka, seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2008 yang membatasi aktivitas keagamaan Ahmadiyah.
Di sisi lain, hak perempuan dalam politik dan kehidupan sosial juga menjadi perdebatan yang berkaitan dengan agama dan HAM. Beberapa kebijakan yang berbasis agama dianggap membatasi hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi politik. Di beberapa daerah, seperti Aceh, perempuan diharuskan mengenakan jilbab berdasarkan regulasi daerah yang berlandaskan syariat Islam. Meskipun bagi sebagian masyarakat hal ini dianggap sebagai bentuk penerapan nilai-nilai agama, bagi kelompok lain, aturan tersebut dinilai sebagai bentuk pembatasan terhadap hak individu untuk memilih bagaimana mereka berpakaian.
Selain itu, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi juga sering terjadi dengan dalih menjaga moralitas agama. Salah satu contohnya adalah pembatasan terhadap seni dan budaya yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama tertentu. Beberapa konser musik, pertunjukan seni, dan bahkan film telah dilarang karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Situasi ini menimbulkan perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia dan kelompok yang ingin membatasi ekspresi tertentu atas dasar nilai-nilai moral dan agama.
Tantangan lainnya dalam hubungan antara agama, politik, dan hak asasi manusia di Indonesia adalah kebijakan hukum yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agama tertentu. Misalnya, KUHP yang baru disahkan pada tahun 2022 memasukkan beberapa pasal yang dinilai bisa mengancam kebebasan individu, seperti pasal yang mengatur tentang perzinaan dan kohabitasi (tinggal bersama tanpa menikah). Meskipun pasal ini dibuat berdasarkan nilai-nilai moral yang banyak dianut oleh masyarakat, penerapannya bisa berdampak pada kelompok tertentu, terutama bagi perempuan dan kelompok minoritas lainnya.
Dalam konteks kebebasan beragama, pasal-pasal tentang penodaan agama juga menjadi kontroversial. Di Indonesia, UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sering kali digunakan untuk menjerat individu yang dianggap menghina agama tertentu. Namun, penerapan hukum ini sering kali bersifat selektif, di mana kelompok minoritas lebih rentan terkena tuduhan penodaan agama dibandingkan kelompok mayoritas.
Selain itu, politik identitas berbasis agama juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi HAM di Indonesia. Dalam beberapa pemilu, terutama pemilihan presiden dan kepala daerah, agama sering digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan lawan politik. Kampanye berbasis agama sering kali menyasar kelompok tertentu, menciptakan polarisasi sosial, dan memperkuat intoleransi di masyarakat.
Upaya Mengatasi Tantangan
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah Indonesia perlu memperkuat komitmen terhadap perlindungan HAM dengan cara:
1. Meninjau kembali kebijakan dan regulasi yang diskriminatif, terutama yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
2. Memastikan bahwa kebijakan berbasis agama tidak bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan keadilan sosial, terutama dalam hal hak perempuan dan kelompok minoritas.
3. Memperkuat penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok intoleran yang melakukan diskriminasi atau kekerasan atas dasar agama.