Mohon tunggu...
Politik

Agama dan Politik di Indonesia: Dinamika, Tantangan, dan Implikasi dalam Kehidupan Sosial dan Kebijakan Negara

27 Maret 2025   15:31 Diperbarui: 27 Maret 2025   15:31 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 "Agama dan Politik di Indonesia: Dinamika, Tantangan, dan Implikasi dalam Kehidupan Sosial dan Kebijakan Negara"


Agama dan politik di Indonesia merupakan dua entitas yang memiliki peran signifikan dalam membentuk kehidupan sosial dan kebijakan negara. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menghadapi tantangan unik dalam mengatur hubungan antara agama dan politik. Pada satu sisi, negara ini mengakui pentingnya agama dalam kehidupan masyarakat melalui Pancasila, sementara di sisi lain, prinsip negara sekuler dan pluralistik sering kali menghadapi tantangan besar dalam praktiknya.

Dalam artikel ini, kita akan mengkaji bagaimana agama berperan dalam politik Indonesia, dari masa kolonial hingga pasca-reformasi, serta dampaknya terhadap kebijakan publik dan kehidupan sosial. Selain itu, kita juga akan membahas berbagai konflik yang muncul akibat perbedaan pemahaman agama dalam politik, serta bagaimana negara menyeimbangkan antara kebebasan beragama dan kepentingan politik.

Bagian 1: Sejarah Hubungan Agama dan Politik di Indonesia

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, hubungan antara agama dan politik telah menjadi isu yang sensitif dan sering kali menjadi sumber ketegangan. Perdebatan mengenai peran agama dalam pemerintahan telah berlangsung sejak awal pembentukan negara, melibatkan kelompok nasionalis-sekuler dan kelompok Islam yang memiliki pandangan berbeda tentang bagaimana negara seharusnya dijalankan.

Pada masa awal kemerdekaan, perdebatan mengenai dasar negara menjadi salah satu isu utama dalam penyusunan konstitusi. Kelompok nasionalis-sekuler, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Sukarno dan Mohammad Hatta, mendorong konsep negara yang berlandaskan pada persatuan nasional dan toleransi antaragama. Pandangan ini kemudian tertuang dalam Pancasila, yang dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.

Namun, di sisi lain, kelompok Islam yang tergabung dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) berpendapat bahwa Indonesia harus menjadi negara Islam yang menjadikan syariat Islam sebagai hukum yang berlaku. Mereka mengusulkan Piagam Jakarta, yang salah satu poinnya berbunyi: "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Piagam ini sempat disepakati dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tetapi akhirnya dihapus demi menjaga persatuan nasional, terutama karena adanya keberatan dari tokoh-tokoh non-Muslim di Indonesia bagian timur.

Keputusan untuk menghapus bagian dari Piagam Jakarta tersebut menjadi titik awal dari ketegangan yang terus berlanjut antara kelompok Islam dan nasionalis-sekuler. Meskipun akhirnya Pancasila diterima sebagai dasar negara, perdebatan mengenai peran agama dalam politik tetap muncul dalam berbagai peristiwa sepanjang sejarah Indonesia.

Pada era Demokrasi Parlementer (1950-1959), partai-partai Islam, terutama Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan. Namun, ketegangan tetap ada, terutama terkait dengan upaya sebagian kelompok Islam untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Selain itu, gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo berusaha mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini akhirnya ditumpas oleh pemerintah, tetapi menjadi bukti adanya ketidakpuasan dari kelompok Islam terhadap kebijakan negara yang dianggap kurang mengakomodasi aspirasi mereka.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Sukarno membentuk konsep NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai strategi untuk menyatukan berbagai kekuatan politik di Indonesia. Namun, kebijakan ini justru memperburuk hubungan antara kelompok Islam dan komunis, terutama karena meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemerintahan. Konflik ini mencapai puncaknya dalam Peristiwa G30S/PKI tahun 1965, yang berujung pada jatuhnya Sukarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun