Implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah memasuki fase krusial pada tahun 2025. Meski undang-undang ini telah berlaku penuh sejak 17 Oktober 2024, berbagai tantangan implementasi masih menghambat efektivitas perlindungan data pribadi di Indonesia. Evaluasi komprehensif menunjukkan perlunya penyesuaian kebijakan yang lebih responsif terhadap dinamika digital era modern.
1. Kondisi Implementasi UU PDP di Tahun 2025
- Status Kelembagaan yang Masih Tertunda
Salah satu kelemahan paling mendasar dalam implementasi UU PDP adalah belum terbentuknya Badan Pengawas Perlindungan Data Pribadi (BPDP) hingga pertengahan 2025. Pasal 58 UU PDP mengamanatkan pembentukan lembaga ini paling lambat dua tahun sejak UU berlaku, namun proses pembentukan masih terkendala harmonisasi regulasi antar kementerian.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) saat ini menjalankan fungsi pengawasan sementara melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital, dengan rencana inkubasi lembaga PDP selama 6 bulan. Namun, ketiadaan otoritas independen menciptakan kekosongan pengawasan fungsional yang signifikan dalam pencegahan dan penyelesaian sengketa kebocoran data pribadi.
- Kemajuan Regulasi Turunan yang Lambat
Penyusunan peraturan turunan UU PDP mengalami kemajuan yang sangat lambat. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Peraturan Pelaksanaan UU PDP baru mencapai progres dua per tiga dan masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Dengan sekitar 200 pasal yang harus dibahas, proses ini diperkirakan akan memakan waktu hingga kuartal IV 2025.
Keterlambatan ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha dan organisasi yang harus mematuhi UU PDP. Tanpa aturan teknis yang jelas, standar kepatuhan yang wajib dipenuhi industri menjadi tidak jelas, sehingga pemenuhan hak-hak subjek data menjadi dipertanyakan.
- Tantangan Penegakan Hukum dan Kepatuhan
Meskipun UU PDP telah berlaku penuh, penegakan hukum masih menghadapi berbagai hambatan struktural. Lebih dari 60% perusahaan di Indonesia belum sepenuhnya mematuhi UU PDP, sementara kasus kebocoran data terus meningkat signifikan. Insiden besar seperti kebocoran 279 juta data pengguna BPJS Kesehatan pada 2021 dan 91 juta data pengguna Tokopedia pada 2020 menunjukkan lemahnya sistem perlindungan data.
Data terbaru menunjukkan bahwa 75% pengguna internet Indonesia masih skeptis terhadap keamanan data mereka dalam transaksi digital. Kondisi ini diperparah oleh rata-rata 13 juta serangan siber per hari yang terjadi di Indonesia pada 2024.
2. Perbandingan dengan Standar Internasional
- Kesenjangan dengan GDPR
Perbandingan komprehensif antara UU PDP dengan General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa mengungkap beberapa kesenjangan signifikan. UU PDP Indonesia mengimplementasikan mekanisme perlindungan data dengan pendekatan yang lebih fleksibel dibandingkan GDPR yang memiliki ketentuan lebih ketat dan terperinci.
Dalam aspek sanksi, GDPR menerapkan denda hingga 4% dari pendapatan global perusahaan, sementara UU PDP masih menerapkan sanksi yang relatif rendah. Perbedaan ini mengurangi efek jera dan tingkat kepatuhan perusahaan terhadap regulasi perlindungan data.
GDPR tidak mengatur sanksi pidana dan fokus pada denda administratif yang besar, sedangkan UU PDP masih menggunakan sanksi pidana yang sulit ditegakkan. Dalam aspek pengawasan, GDPR memiliki Data Protection Impact Assessment (DPIA) untuk pemrosesan data berisiko tinggi, sementara UU PDP mengatur kewajiban pengendali data secara umum.
- Perbandingan dengan Negara ASEAN
Studi komparatif dengan negara-negara Asia menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam beberapa aspek. Singapura, Malaysia, dan Korea mewajibkan setiap pengendali data menunjuk Data Protection Officer (DPO), sedangkan UU PDP Indonesia menggunakan kriteria yang dapat dipenuhi secara alternatif. Hanya Thailand yang menggunakan formulasi "atau" dalam kriteria penunjukan DPO seperti Indonesia.
3. Kebutuhan Penyesuaian Kebijakan 2025
- Penguatan Kelembagaan
Prioritas utama adalah segera menyelesaikan pembentukan Badan Pengawas Perlindungan Data Pribadi sebagai lembaga independen. Lembaga ini harus memiliki anggaran yang memadai, tenaga ahli, dan kewenangan yang kuat meliputi fungsi investigasi, pengawasan, pemberian sanksi, serta penyelesaian sengketa.
Berdasarkan praktik terbaik internasional, lembaga pengawas PDP harus memiliki independensi yang memadai untuk menjalankan fungsinya secara optimal tanpa intervensi berlebihan. Komisi I DPR telah mendorong pemerintah untuk mempercepat penyelesaian dan memastikan lembaga yang dibentuk memiliki kapasitas memadai.
- Harmonisasi Regulasi Sektoral
Diperlukan sinkronisasi terminologi dan prinsip perlindungan data dalam regulasi sektoral agar sesuai dengan standar UU PDP. Fragmentasi regulasi sektoral yang mengatur perlindungan data pribadi di berbagai sektor menciptakan ketidaksinkronan dalam definisi data pribadi, mekanisme persetujuan, dan kewajiban pengendali data.
Kementerian dan lembaga terkait perlu merevisi peraturan sektoral untuk memastikan keselarasan dengan ketentuan UU PDP, terutama dalam hal definisi data pribadi, mekanisme persetujuan, dan kewajiban pengendali data.
- Peningkatan Sanksi dan Deterrence
Perlu peningkatan besaran sanksi agar sebanding dengan potensi kerugian dan memberikan efek jera yang memadai. Sanksi denda harus disesuaikan dengan omzet atau aset perusahaan, tidak hanya berdasarkan nilai nominal tetap. Pembelajaran dari GDPR menunjukkan bahwa sanksi yang proporsional dengan dampak ekonomis pelanggaran lebih efektif dalam mendorong kepatuhan.
- Adaptasi Terhadap Teknologi Emerging
UU PDP perlu penyesuaian untuk menghadapi tantangan teknologi baru seperti artificial intelligence, deepfake, dan blockchain. Regulasi saat ini tidak secara eksplisit mengatur penggunaan teknologi AI yang dapat menyalahgunakan data pribadi untuk menciptakan konten palsu atau manipulatif.
Studi menunjukkan bahwa blockchain dapat meningkatkan keamanan data secara signifikan, namun UU PDP belum mengatur karakteristik unik teknologi ini. Diperlukan pembaruan regulasi untuk mengakomodasi inovasi teknologi sambil memastikan perlindungan data tetap optimal.
- Penguatan Literasi dan Edukasi
Program edukasi komprehensif tentang hak-hak data pribadi dan risiko digital perlu dilakukan secara sistematis. Survei menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang UU PDP masih rendah, dengan lebih dari 60% masyarakat belum mengetahui keberadaan regulasi ini.
Pelaku usaha, terutama UMKM, memerlukan sosialisasi dan pelatihan intensif untuk memahami kewajiban perlindungan data pribadi. Pemerintah dan asosiasi bisnis perlu berkolaborasi menyelenggarakan workshop dan pelatihan untuk meningkatkan tingkat kepatuhan.
4. Rekomendasi Strategis untuk 2025-2026
- Akselerasi Implementasi
Pemerintah perlu segera menyelesaikan seluruh aturan turunan UU PDP dan membentuk lembaga pengawas independen paling lambat kuartal II 2025. Keterlambatan lebih lanjut akan semakin memperlemah efektivitas UU PDP dan meningkatkan risiko penyalahgunaan data pribadi.
- Peningkatan Koordinasi Antar Lembaga
Diperlukan mekanisme koordinasi yang lebih baik antara Komdigi, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian PAN-RB, dan lembaga terkait untuk mempercepat penyelesaian regulasi turunan. Pembentukan tim khusus lintas kementerian dapat membantu mengatasi hambatan birokrasi.
- Penguatan Kapasitas Teknologi
Investasi dalam infrastruktur keamanan siber dan pengembangan kapasitas SDM bidang perlindungan data menjadi prioritas. Dengan rata-rata 13 juta serangan siber per hari, Indonesia memerlukan sistem pertahanan data yang lebih robust.
- Kemitraan Publik-Privat
Pengembangan kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta dalam implementasi perlindungan data pribadi perlu diperkuat. Kolaborasi ini dapat mencakup pembagian informasi ancaman, pengembangan standar keamanan, dan program edukasi bersama.
Terakhir...
Implementasi UU PDP di Indonesia pada tahun 2025 masih menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait kelembagaan, regulasi turunan, dan penegakan hukum. Meskipun undang-undang telah berlaku penuh, efektivitasnya terhambat oleh ketiadaan lembaga pengawas independen dan keterlambatan aturan pelaksana.
Penyesuaian kebijakan sangat diperlukan untuk memperkuat kerangka perlindungan data pribadi Indonesia, termasuk penyelesaian pembentukan BPDP, harmonisasi regulasi sektoral, peningkatan sanksi, dan adaptasi terhadap teknologi emerging. Tanpa langkah-langkah korektif yang komprehensif, Indonesia berisiko tertinggal dari standar internasional dan gagal memberikan perlindungan data pribadi yang memadai bagi warganya di era digital yang semakin kompleks.
Keberhasilan implementasi UU PDP akan menentukan kemampuan Indonesia dalam membangun ekosistem digital yang aman, terpercaya, dan berkelanjutan. Diperlukan komitmen politik yang kuat dan kolaborasi seluruh stakeholder untuk mewujudkan perlindungan data pribadi yang efektif sesuai dengan amanat undang-undang.
- Mau Cari Apa Sih ? -BYS
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI