Mohon tunggu...
Bhayu M.H. Ketum NuN
Bhayu M.H. Ketum NuN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bhayu M.H. sebagai Ketua Umum M.P. N.u.N.

Netizen untuk Negeri atau disingkat N.u.N. adalah komunitas lintas-agama, lintas budaya, lintas suku bangsa yang didirikan pada 4 Desember 2016. Niat kami adalah ikut berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Fokus perjuangan kami adalah melawan intoleransi dan separatisme. Di account ini, Bhayu M.H. bertindak selaku Ketua Umum Musyawarah Pendiri (M.P.) dari N.u.N. Sekaligus merangkap sebagai Koordinator Utama Badan Pengelola Harian (Kortama B.P.H.). Pembuatan account ini adalah untuk membedakan antara Bhayu M.H. sebagai pribadi -yang mana accountnya sudah lebih dulu ada di Kompasiana- dengan sebagai Ketum N.u.N. Apalagi sejak Kemenkumham resmi mensahkan N.u.N. sebagai badan hukum perkumpulan pada 31 Mei 2021, maka setiap pernyataan Bhayu M.H. sebagai Ketum M.P. merangkap Kortama B.P.H. N.u.N. terbuka bagi publik serta dapat dikutip oleh media massa. Maka, diperlukan pembedaan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemuda di Tengah Kepungan Radikalisme

28 Oktober 2021   22:05 Diperbarui: 28 Oktober 2021   23:48 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pemuda berdemonstrasi. (Sumber: counterjihadireport.com)

"Pemuda dan Radikalisme: Pengaruh Gerakan Keagamaan Transnasional terhadap Indonesia", itulah judul webinar yang diusung oleh NuN (Netizen untuk Negeri) pada hari Jum'at, 22 Oktober 2021 lalu. Dihelat  dalam rangka ikut memberikan warna pada Hari Peringatan Sumpah Pemuda 1928 yang jatuh pada 28 Oktober hari ini.

Hadir sebagai Pembicara Kunci adalah Dr. H. Amar Ahmad, M.Si., Sekretaris Deputi Bidang Pengembangan Pemuda, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Beliau hadir mewakili Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Dr. H. Zainudin Amali, M.Si. yang memiliki agenda lebih penting untuk dihadiri. Selain itu, juga tampil tiga orang pembicara yang masing-masing memiliki kompetensi dan pengalaman mumpuni. Mereka adalah Yon Machmudi, Ph.D., Kepala Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah & Islam, Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Kemudian ada juga Indra Jaya Piliang, S.S., M.Si., Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara yang dulu sewaktu mahasiswa sempat menjadi Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (Ikahimsi). Dan terakhir adalah Nasir Abas, yang sekarang merupakan Konsultan Senior Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) dan pernah menjadi Pimpinan al-Jama'ah al-Islamiyah (JI).

Di dalam tulisan ini, saya hendak sedikit merangkum pembahasan dalam webinar. Hal ini selain sebagai catatan bagi yang mengikuti webinar secara langsung, juga agar diskusi dapat dinikmati kalangan lebih luas. Dalam hal ini terutama bagi pembaca Kompasiana yang tidak mengikutinya.

Dr. H. Amar Ahmad, M.Si.

Pemaparan materi Dr. H. Amar Ahmad, M.Si. (Foto: NuN)
Pemaparan materi Dr. H. Amar Ahmad, M.Si. (Foto: NuN)
Setelah menyampaikan permohonan maaf dan salam dari Menpora RI karena tak dapat hadir langsung, Dr. Amar memaparkan materi berjudul "Pemuda dan Radikalisme". Materi yang disusun khusus untuk webinar NuN ini menyajikan banyak data berharga. Data pertama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 (SP2020). Menurut data tersebut, terdapat 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia, bertambah 32,56 juta jiwa dari SP2010. Dari jumlah 270,20 juta jiwa tersebut, komposisinya adalah:
  • Pre-Boomer: 1,87 %
  • Baby Boomer: 11,56 %
  • Gen-X: 21,88 %
  • Millenial: 25,87 %
  • Gen-Z: 27,94 %
  • Post Gen-Z: 10,88 %

Dari statistik tersebut, yang bisa dikategorikan pemuda sebesar 75,69 %. Angka tersebut didapat dari penjumlahan prosentase Gen-X, Millenial, dan Gen-Z. Sebagai tambahan dari penulis, bila merujuk pada tabel "Generation Timeline" yang dapat dilihat di Wikipedia berbahasa Inggris pada lema "Generation", maka pembagian tahunnya adalah sebagai berikut:

  • Silent Generation (Pre-Boomer): 1928-1945
  • Baby Boomers: 1946-1964
  • Generation-X: 1965-1980
  • Generation-Y (Millenials): 1981-1996
  • Generation-Z (Zoomers): 1997-2012
  • Generation Alpha (Post Gen-Z): awal 2010-pertengahan 2020

Dalam konteks pemuda dan radikalisme, Dr. Amar juga mengetengahkan data dari "Indonesia Millenial Report, 2019". Dari responden yang disurvei, ternyata ada 19,5 % yang terpapar ideologi radikal. Walau di sisi lain, tentu 81,5 % millennial mendukung NKRI sebagai sistem negara di Indonesia. Meski data yang dipaparkan tersebut tidak menjelaskan mendetail, namun patut diduga bahwa 19,5 % millennial itu menginginkan bentuk negara selain NKRI. Sebutlah misalnya, khilafah.

Dan tentunya upaya untuk membendung meluasnya dampak negatif pemikiran radikal tersebut terhadap millennial salah satunya adalah dengan mengkampanyekan penggunaan media sosial yang sehat dan bermanfaat. Termasuk dengan melawan ujaran kebencian (hate speech), kabar bohong (hoax), dan muatan (content) negatif lainnya.

Yon Machmudi, Ph.D.

Pemaparan Yon Machmudi, Ph.D. (Foto: NuN)
Pemaparan Yon Machmudi, Ph.D. (Foto: NuN)
Tampil setelah Pembicara Kunci, adalah Yon Machmudi, Ph.D. Beliau mengetengahkan materi berjudul "Radikalisme dan Gerakan Transnasionalisme di Indonesia". Sebagai akademisi, pertama-tama Yon menegaskan agar kita bisa membedakan radikalisme dengan fundamentalisme. Mengutip Silvan, Emmanuel (1985),radikal berarti meyakini atau mengikuti prinsip-prinsip yang mendorong pada perubahan politik, ekonomi dan sosial secara drastis (radikal). Sementara fundamentalisme - -mengutip Jansen, Johannes G. (1997) berarti:
  • Meyakini atau mengikuti pandangan yang menjadikan agama sebagai ideologi politik.
  • Fundamentalisme ada dua: fundamentalisme radikal dan fundamentalisme moderat.
  • Dalam literatur pemikiran politik Islam sering disebut dengan istilah "Islamis maupun Islam Politik".

Yon mengingatkan, bahwa radikalisme adalah benih dari terorisme. Menurutnya, para pelaku teroris adalah aktor rasional yang berusaha untuk memaksimalkan tujuannya, tetapi memiliki keterbatasan resources. Apabila negara tidak efektif menangani masalah radikalisme, atau sebaliknya terlalu over reaktif, bisa berdampak pada ketidakstabilan politik.

Untuk itu, Yon menyarankan rekomendasi sebagai berikut:

  • Kebijakan penanggulangan radikalisme di Indonesia harus dapat membedakan antara kelompok radikal dengan kelompok fundamentalis. Kelompok fundamentalis moderat harus dilibatkan secara serius dalam hal penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Dari aspek pemahaman keagamaan mereka lebih paham dalam menolak logika kekerasan yang dikembangkan oleh kelompok radikal.
  • Ormas-ormas Islam moderat harus diajak dan didukung berpartisipasi dalam menyebarkan dan mengembangkan aspek perdamaian dalam Islam melalui Pendidikan, dakwah, maupun kegiatan sosial. Penyediaan materi-materi keagamaan yang penuh dengan cinta kasih, toleransi dan membangun perlu diusahakan.
  • Strategi penanggulangan radikalisme harus bersumber dari persoalan yang dihadapi oleh Indonesia karena Indonesia memilki kompleksitas persoalan yang berbeda dengan negara-negara lain. Riset mendalam berkaitan dengan kasus-kasus radikalisme maupun terorisme perlu dilakukan agar dapat menghasilkan kebijakan dan strategi yang pas dan efektif.

Nasir Abas

Pemaparan Nasir Abas (Foto: NuN)
Pemaparan Nasir Abas (Foto: NuN)
Di urutan ketiga pembicara adalah Nasir Abas. Sebagai mantan teroris, ia mengemukakan pengalamannya yang berharga. Dalam kesempatan ini, ia memaparkan materi berjudul "Pemuda dan Radikalisme: Prediksi Setelah Jatuhnya Afghanistan kepada Taliban". Pemaparannya penuh dengan peta, gambar dan foto yang menarik. Karena itu, agak sulit menjabarkannya menjadi tulisan.

Intinya, setelah mengelaborasi pengalamannya selama menjadi pimpinan JI, Nasir Abas mengevaluasi dampak "kemenangan" Taliban baru-baru ini. Ia menyatakan, bahwa kejadian di Afghanistan bisa menimbulkan euforia di kalangan jihadis. Hal itu bisa menjadi inspirasi dan bukti bahwa perjuangan atas nama agama bisa berhasil mengalahkan pemerintahan yang ada dan membentuk negara Islam. Kejadian itu juga bisa membuat kelompok radikal merasa bangga karena bendera Taliban hampir sama dengan bendera kalimat Tauhid yang sering dikibarkan di Indonesia (bendera HTI -- pen).

Dengan demikian, Nasir Abas juga menyerukan agar kita tidak menganggap remeh efek kemenangan Taliban di Afghanistan. Seraya tetap waspada terhadap bibit-bibit terorisme yang bisa tumbuh dari sikap radikal di kalangan sebagian umat beragama.

Indra Jaya Piliang, S.S., M.Si.

Indra Jaya Piliang (Foto: NuN)
Indra Jaya Piliang (Foto: NuN)

Indra Jaya Piliang tampil terakhir sebagai pembicara, namun tidak membawakan materi tertulis. Dalam kesempatan tersebut, Indra Jaya mengingatkan bahwa radikalisme sebenarnya mulanya adalah sesuatu yang baik. Karena menurut asal katanya, radikal berasal dari kata "radix" yang berarti "kembali ke akar". Banyak perubahan di dunia lahir justru dari gerakan radikal. Indra justru mengingatkan agar pemuda jangan dihalangi dari radikalisme. Karena radikalisme dalam berpikir menurutnya justru bagus.

Transnasionalisme sendiri menurut Indra sebenarnya wajar apabila sebuah ideologi melintasi batas-batas antar negara. Namun, ketika ideologi itu kemudian bercampur dengan politik, maka bisa terjadi sebuah penafsiran berbeda. Sebutlah seperti ideologi khilafah, sebenarnya khilafiyah. Karena dalam sejarah Islam ada kekhilafahan berbeda-beda. Indra mempertanyakan mau mengikuti yang mana, karena dalam Islam juga ada perbedaan mazhab.

Kemudian, Indra mengutip Noam Chomsky, Indonesia adalah negara yang berbeda meskipun negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Cara Indonesia menangani terorisme justru diterima oleh umat Islam. Menurut Chomsky, Indonesia berhasil menunjukkan pada dunia bahwa terorisme dan Islam berbeda. Chomsky menyatakan bahwa Islam tidak berbahaya, membantah tesis sejumlah ilmuwan barat antara lain Samuel Huntington, dengan merujuk pada studi kasus Indonesia.

Untuk membantah Samuel Huntington dengan tesisnya "Clash of Civilization", Indra melanjutkan, bahwa Anwar Ibrahim juga pernah mengambil contoh Indonesia. Menurut Anwar, Indonesia adalah contoh nyata bahwa Islam dan demokrasi bisa bersinergi.

Catatan Penulis

Dari statistik BPS yang dikemukakan Dr. H. Amar Ahmad, M.Si., kita tahu bahwa sebenarnya Indonesia tengah mengalami "bonus demografi". Indra Jaya Piliang juga sempat menyinggung hal ini. Sehingga, secara statistik, demografi penduduk Indonesia seperti "piramida granat" dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar. Dan itu berarti pemuda.

Dari paparan keempat pembicara tersebut, sebenarnya dapat kita pahami bahwa kondisi pemuda di Indonesia saat ini berada di tengah kepungan radikalisme.  Pemuda rentan terpapar berbagai informasi negatif. Hal ini terutama karena maraknya teknologi informasi, termasuk media massa dan media sosial. Namun, hal itu bisa diantisipasi apabila kita bersama-sama melawannya dengan narasi positif. Nasir Abas mengingatkan bahwa teroris aktif melakukan edukasi, sosialisasi dan perekrutan melalui media sosial. Dan untuk menangkalnya, saran dari Yon Machmudi, pemerintah harus bergandengan tangan erat dengan berbagai unsur masyarakat. Termasuk akademisi dan ormas keagamaan.

Tentunya tidak sekedar dengan menyebarkan informasi belaka, tapi juga dengan kegiatan positif. Dengan demikian, pemuda dapat terhindar dari "radikalisme negatif" -meminjam istilah Indra Jaya Piliang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun