Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 22

15 Desember 2014   22:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 21)

(Bagian 22)

[New York city]

Hari masih siang saat tuxedo sewaan Rangga tiba di rumahnya. Rangga menandatangani surat jalan dan menerima seluruh paketnya: jaket atau jas tuxedo, rompi, kemeja pelapis dalam, celana panjang, sepatu dan dasi kupu-kupu. Hanya kaus kaki yang tidak disewanya, melainkan ia memilih membeli baru.

Rangga pun sudah menyiapkan diri dengan memesan taksi eksklusif. Semula, ia hendak menyewa limousine, tetapi rasanya terlalu mahal untuk sebuah ‘acara kantor’ seperti itu. Maka, ia memilih menelepon jasa layanan taksi ekslusif. Di Indonesia sendiri ada jasa semacam itu, yang disediakan oleh perusahaan taksi yang memiliki armada terbesar. Taksinya masih terlihat taksi, karena di atasnya masih memakai lampu identitas. Berbeda dengan layanan limo yang sudah seperti mobil pribadi karena tanpa tanda tersebut.

Jam tiga sore, Rangga sudah mandi dan bersiap-siap. Ia tidak ingin ada yang salah dengan acara nanti sore. Maklum saja, sekian tahun tinggal di New York, baru kali ini ia menghadiri acara seresmi ini. Rangga sendiri tergolong tipe perfeksionis, sehingga ia tidak ingin ada ketidaksempurnaan dalam persiapan. Sekitar jam empat sore, ia sudah memakai hampir seluruh setelannya, tinggal jaketnya saja yang belum dipakai.

Tiba-tiba, terdengar nada dering di pad-nya. Rangga terkejut, karena ia jarang mengaktifkan volume suara pad-nya karena biasanya ia silent dan vibrate saja. Setengah berlari, ia yang masih berada di kamar menuju ke ruang tengah. Pad-nya itu memang diletakkan di depan televisi. Tanpa melihat ke layar lagi, ia menekan tombol answer.

“Hello Jeanette, how are you?” sapa Rangga ceria.

Tidak ada sahutan di ujung telepon. Hening.

“Jeanette, darling... Are you there....?” Rangga mengeraskan suaranya. Ia kuatir lawan bicaranya tidak bisa mendengarkan.

Tut-tut-tut.....

Sambungan telepon terputus.

“Aneh, apakah koneksi sedang buruk? Tapi ini kan di Amrik, bukan di Indonesia?” pikir Rangga. Cepat ia menekan layar sentuh pad-nya dan mencari dial log-nya. Ia bersiap menekan tombol call back, saat melihat catatan nama yang baru saja meneleponnya ternyata bukan Jeanette, melainkan Cinta!

“O-em-ji!” pekik Rangga. “Waduh, ngambek deh nih anak... Coba, kutelepon balik deh...,” pikir Rangga agak panik. Rangga pun menekan tombol call, tapi hingga deringan habis, tak kunjung diangkat. Ia masih mencoba memanggil, tapi kali ini malah di-reject. Pada upaya panggilan ketiga,terdengar kalimat peringatan dari operator, “Telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan.”

“Waduh, HP-nya dimatiin!” Rangga menepuk dahinya sendiri. Ia berpikir cepat. Men cari-cari kalimat yang tepat, kemudian ia pun mengirimkan SMS.

-Cinta, maaf. Aku sedang menunggu telepon dari teman kantorku. Aku kira panggilan tadi dari dia, ternyata dari kamu. Maaf ya.... Tolong kasih tahu kalau sudah boleh kutelepon... Miss you....-

*******

[Rumah orangtua Cinta, Jakarta Selatan]

“Hhhh.... ternyata dia ngajak cewek buat acara malam ini. Dasar! Bilangnya kemarin maunya ngajak aku! Dasar cowok!” Cinta marah-marah sendiri di kamarnya. Padahal, tadinya dia ingin bermanja-manja kepada Rangga, sekaligus menggodanya yang pergi sendirian ke acara pembukaan pameran foto. Tapi ternyata... Cinta pun dengan gemas melihat Rangga dua kali mencoba menghubunginya. Pada panggilan kedua, ia menekan tombol reject. Dan segera setelah itu, ia menon-aktifkan smartphone-nya.

“Biar rasa!” katanya jengkel kepada layar telepon yang sudah mati itu.

Cinta pun mengambil handphone-nya yang lain. Sudah lazim bagi kaum urban perkotaan masa kini memiliki pesawat telepon genggam lebih dari satu. Biasanya, nomor satunya lebih pribadi dan tidak untuk disebarluaskan, hanya diketahui kalangan terbatas saja.

Dengan HP itu, Cinta mengirimkan SMS kepada Borne. Karena nomornya belum terekam di phone book, ia pun sempat mencari-cari kartu nama Borne yang diletakkan di dompetnya. Setelah ditemukan, ia pun mengetikkan sejumlah kalimat.

-Borne, ini Cinta. Nomorku satu lagi off dulu ya, call ke sini aja. Pls tlp/sms klo udah smp dpn rumah, biar kubukain pintu-

Cinta pun menunggu jawaban, tapi setelah 5 menit tak ada balasan, ia memilih meninggalkan HP itu di atas meja rias. Ia pun menuju kamar mandi untuk mandi.

Ketika selesai mandi, ia membuka lemari pakaiannya. Cinta pun bingung, hendak memakai apa ia sore ini. Sebenarnya, sehari-hari, ia tak pernah bingung kalau ke kantor. Pilihan pakaiannya cukup beragam dan chic. Tetapi sore ini bukanlah acara kantor atau hendak pergi bekerja.

Cinta mengetuk kepalanya, “Katanya redaktur mode, kok milih baju aja bingung? Duh!”

Akibatnya, selama lima belas menit, ia mencoba memadu-padankan tak kurang dari delapan atasan dan lima bawahan. Sampai tiba-tiba terdengar suara pintu kamarnya diketuk.

Suara Ibunya, ”Cinta, itu temannya sudah datang....”

Cinta pun panik. “Nah lho, ini anak. Disuruh telepon dulu kok tahu-tahu datang sih?” Ia melihat ke jam dinding digital yang tergantung berhadapan dengan ranjangnya, “Ooops. Udah jam lima teng. Tepat waktu banget sih tuh anak?”

Cepat, Cinta menjawab, “Bentar Bu, nanti Cinta yang bukain pintu...”

Terdengar lagi suara Ibunya, “Udah Ibu bukain pintu... Sudah duduk di ruang tamu. Ibu suruh bikinin minum dulu ya ke Yuk...”

Cepat Cinta menukas, “Eh, nggak usah Bu. Mau langsung pergi aja...”

Ibunya berlalu sambil berkata singkat, “Eh, nggak sopan dong. Masa’ tamu nggak disuguhin?”

“Aduuh... ya udah.. bilangin bentar lagi Cinta keluar...,” agak panik, Cinta pun merapikan dandanannya. Ia akhirnya memakai gaun sackdress terusan berwarna dasar putih dengan aksen bunga-bunga biru yang dipermanis dengan ikat pinggang kain lebar berwarna senada. Ia tak mau repot-repot lagi berpikir. Gaun itu terakhir dipakainya tahun lalu, saat upacara penganugerahan gelar pemenang lomba model yang diadakan majalahnya. Untung saja masih bagus dan tidak kotor disimpan di lemari sekian lama.

Karena sudah terbiasa membantu pemotretan termasuk mempelajari bagaimana merias wajah secara cepat, hanya dalam lima menit Cinta sudah selesai memulaskan make-up. Ia hanya mengusapkan foundation, bedak tabur tipis dan sedikit blush-on. Ia tidak memakai maskara dan eye-liner, hanya ditambah lipstik warna pink saja. Karena pada dasarnya wajah Cinta sudah cantik dan bernuansa Indonesia, maka dengan rias wajah sederhana seperti itu saja sudah nampak manglingi. Sehari-hari, Cinta memang agak malas berdandan, paling ia hanya memakai bedak tabur atau lotion tipis saja. Lipstik jarang dipakainya kecuali harus melakukan wawancara atau menghadiri acara seremonial.

Sebenarnya ada alasan lain Cinta buru-buru menyelesaikan acara dandannya. Ia sama sekali tidak ingin Borne diwawancara oleh kedua orangtuanya. Maklum saja, selama bertahun-tahun, baru kali ini ia mengajak seorang teman pria ke rumah. Kalau pun ada yang datang, biasanya teman kantornya. Itu pun bukan menjemput, tetapi mengantarkan. Karena seringkali selesai suatu acara seremonial sudah larut malam. Dan cepat Cinta menerangkan siapa yang mengantarkan, sekaligus menggarisbawahi status teman prianya yang sudah berkeluarga.

Tetapi kali ini, Borne datang menjemputnya. Dan sudah pasti akan membuat penasaran orangtuanya yang sudah lama menunggu saat-saat ini. Setelah dirasanya selesai berdandan, ia pun segera memindahkan beberapa barang dari tas kerjanya ke dalam tas tangan khusus untuk pergi ke acara resmi yang lebih kecil. Ia meraih dompet, smartphone, handphone, sekotak bedak cake dan lipstik. Cuma itu saja yang muat.

Cepat-cepat Cinta keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang tamu. Dan apa yang dikuatirkannya sudah terjadi. Dari kejauhan, ia mendengarkan suara Borne yang sedang bercengkerama dengan kedua orangtuanya.

“Adduuuh! Ditanya apaan aja tuh anak!” gumam Cinta sambil menggigit bibirnya. Ia pun mempercepat langkahnya agar segera sampai ke ruang tamu yang sebenarnya cuma berjarak sekitar delapan meter dari kamarnya itu.

Ketika Cinta menampakkan diri di ambang batas ruang tamu dengan ruang tengah yang tanpa pintu, mata Borne sempat membelalak. Karena Cinta jelas berdandan rapi untuk menemuinya. Tentu saja Borne merasa tersanjung. Ia malah merasa agak tidak enak karena cuma berpakaian alakadarnya. Tentu alakadar bagi Borne sebenarnya sudah lumayan. Ia mengenakan kaos polo lengan panjang bermerek luar negeri yang terlihat mahal dipadu celana jeans yang juga branded. Sepatu setengah boot-nya dilepaskan di pintu, walau tadi Ibu Cinta sudah memaksa untuk tetap memakainya.

“Hai!” Cinta menyapa sambil mengangkat tangan kanannya canggung.

“Sore Cinta,” sapa Borne ramah.

“Ayo Nak, duduk sana,” perintah ayah Cinta memerintahkan putri tersayangnya untuk duduk di dekat Borne. Cinta memilih tidak memenuhinya, melainkan duduk di bangku lain yang tidak tepat bersebelahan dengan Borne.

Ayah Cinta tampak sumringah, sembari berkata memuji Borne, “Wah, kamu kok ndak pernah cerita punya teman hebat kayak dia sih? Es satu-nya dari I-Te-Be, es dua-nya dari Em-Ai-Ti. Walah! Top banget itu!”

Cinta tampak bingung, ia pun menjawab dengan linglung, “Wah, saya juga tidak tahu Pak. Wong baru ketemu kemarin kok...”

Sekarang, giliran ayah Cinta yang bingung. “Baru ketemu kemarin? Katanya teman SMA?”

Borne berusaha meluruskan, “Maksudnya, baru ketemu lagi kemarin Om. Kami memang sudah sejak lulus SMA tidak pernah bertemu lagi...”

Ayah Cinta mengangguk-anggukkan kepala. Ia lalu bicara seperti kepada diri sendiri, “Oh, begitu, pantas saja. Di Bandung sibuk sih ya? Ini seperti Cinta, lha wong kuliah cuma di Depok saja kok seperti sibuk sekali. Dari kuliah sampai kerja jarang ngobrol sama bapak-ibunya. Sibbuuuuukk aja.... gak tau sibuk apa...”

Cinta melotot kepada ayahnya yang curcol kepada Borne. “Bapak, apaan sih?”

Tak urung, Borne pun tertawa melihat reaksi Cinta, sementara ayahnya malah tambah menjadi menggoda putri kesayangannya, “Saking sibuknya, sampe lupa pacaran lho... Beneran!”

Cinta menghentakkan kakinya kesal, “Pak! Udah dong buka rahasianya. Malu!”

Melihat putrinya mulai ngambek, ayah Cinta malah makin senang, “Betulan lho, Nak Borne ini teman pria pertama yang dibawa ke rumah selama sepuluh tahun terakhir ini....”

“Bapak! Ah, lama-lama dibongkar semua deh rahasiaku! Yuk, kita pergi aja!” ujar Cinta kepada Borne yang sedang tertawa sosial menanggapi curcol-an ayah Cinta itu. Sementara ibu Cinta hanya tersenyum-senyum melihat putrinya salah tingkah. Cinta pun berdiri untuk berpamitan.

“Lho, mau ke mana? Ini nak Borne masih mau ngobrol sama Bapak kok...,” goda ayah Cinta lagi. Masih belum puas melihat anaknya merajuk.

Ibu Cinta menyenggol suaminya, “Sudah dong Pak... kasihan itu anaknya, nanti nangis repot... gak ada yang bisa ngediemin, udah nggak ada tukang balon hari gini...” Suara tawa ayah Cinta meledak mendengar gurauan istrinya. Sementara Cinta yang sudah berdiri tambah manyun mulutnya.

“Tuh, liat... mulutnya udah kayak Donal Bebek...,” goda Bapaknya. Cinta berusaha memaksa mulutnya tersenyum.

“Nah, gitu dong... masa’ mau diajak pergi sama pangeran tampan malah manyun?” Ibunya ikut berdiri sambil mencubiti pipi Cinta. Cinta pun mengelak dan meraih tangan Ibunya untuk menciumnya. Borne ikut berdiri dan berpamitan kepada kedua orangtua Cinta. Ia mencium tangan ayah Cinta dengan takzim. Dan saat Cinta bergeser untuk mencium tangan ayahnya, Borne mencium tangan ibu Cinta. Mereka lalu melangkah bersamaan menuju ke mobil Borne, mobil yang sama yang dilihat Cinta kemarin malam. Ayah dan Ibu Cinta mengantarkan hingga ke depan pintu pagar dan terus melambai hingga mobil itu melaju. Borne membukakaca jendela mobilnya untuk menunduk takzim memberi hormat, sementara Cinta melambai-lambai dengan gaya diheboh-hebohkan dari bangku penumpang samping pengemudi.

Begitu mereka sudah melaju beberapa meter dan berbelok, Cinta pun ‘marah-marah’ kepada
Borne. Tentu saja ‘marah-marah’ dalam tanda petik alias tidak benar-benar marah.

“Tuh, liat kan, heboh banget mereka anaknya pergi sama cowok!” Cinta menghentakkan tubuhnya ke sandaran jok kulit mobil Borne.

“Hahaha... lagian kamu... Beneran tuh kata Bapak, kamu udah sepuluh tahun nggak pacaran?” goda Borne sambil tertawa penuh kemenangan.

“Ha? Yang bener aja. Dia aja yang nggak tau!” Cinta mengelak. Ia tidak mau dijadikan bulan-bulanan oleh Borne.

“Iya deh... yang nggak mau ngaku...,” Borne masih belum puas juga.

“Eh, kamu tuh ya. Baru ketemu sekali ortuku sekali udah berasa ge-er...,” kata Cinta diketus-ketuskan.

Borne tergelak. Ia membalas santai, “Nggak ge-er kok... Lagian, siapa juga yang berani sama kamu? Cewek galak begini?”

“Apa? Aku dibilang galak? Ya udah, aku turun sini aja!” Cinta pun ngambek.

“Lho,lho,lho... jangan dong... Nanti kalo diculik gimana? Kan aku yang repot?” Borne menyabarkan walau tetap dengan nada menggoda.

“Biarin diculik. Daripada dibilang galak! Udah, aku turun sini, biar aku pulang jalan kaki!”

Tiba-tiba, mobil Borne menepi dan berhenti mendadak. Cinta pun menoleh dan melotot.

“Kok, berhenti?” tanyanya heran.

“Lho, gimana sih? Katanya mau turun? Sok atuh... Mau jalan? Silahkan...,” kata Borne sambil tangannya menekan tombol central lock untuk membuka kunci pintu.

Cinta pun mencubit lengan kiri Borne yang masih menggenggam tuas persneling otomatis. Keras sekali sampai-sampai Borne mengaduh kesakitan.

“Tega kamu ya? Emangnya aku cewek apaan? Mau diturunin di jalan sembarangan?” Cinta makin mengencangkan cubitannya.

Tangan kanan Borne kini mencekal tangan kanan Cinta yang mencubit tangan kirinya, mencoba melepaskannya, “Aduuh... kan tadi kamu yang minta? Iya, iya, lepasin dulu cubitannya. Gimana aku mau nyetir ini, aduuuhh...”

(Bersambung besok)

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun