Dalam pandangan Islam, menjaga kesehatan mental bukan hanya soal emosi dan pikiran, tetapi juga wujud keimanan yang menenangkan.
Artikel ini mengulas bagaimana ajaran dan mazhab Islam memandang keseimbangan jiwa di tengah tantangan era digital.
Di tengah derasnya arus digital dan tekanan sosial, menjaga kesehatan mental kini menjadi bagian penting dari kehidupan beriman.
Islam mengajarkan bahwa keimanan tidak hanya tumbuh dari ketaatan ritual, tetapi juga dari kemampuan manusia memahami dan menenangkan dirinya.
Melalui pandangan hukum dan mazhab, kita dapat melihat bahwa kesehatan mental bukan sekadar isu psikologi modern, melainkan bagian dari nilai spiritual yang telah dijaga dalam ajaran Islam.
Kehidupan modern menghadirkan ritme yang semakin cepat dan kompetitif.
Banyak remaja dan orang dewasa muda terjebak dalam tekanan akademik, sosial, maupun ekspektasi digital — berjuang agar terlihat kuat, namun sering kali lupa untuk merasa tenang.
Namun jauh sebelum istilah mental health dikenal luas, Islam sudah menempatkan akal dan jiwa sebagai pusat kemanusiaan. Dalam maqasid syariah, menjaga akal (hifz al-‘aql) dan menjaga jiwa (hifz al-nafs) merupakan bagian dari tujuan utama syariat.
Dengan kata lain, menenangkan diri bukan tanda kelemahan, tetapi bagian dari upaya menjaga amanah ilahi: diri yang sehat, akal yang jernih, dan hati yang tenang.
Para ulama klasik lintas mazhab telah banyak membahas hubungan antara akal, jiwa, dan iman.
Mazhab Hanafi memandang akal sebagai syarat utama dalam menjalankan hukum dan tanggung jawab moral (taklīf).
Sementara Syafi’i dan Maliki menekankan pentingnya keseimbangan antara nalar dan hati dalam setiap keputusan keagamaan.
Artinya, setiap manusia dituntut untuk menjaga kejernihan akal agar tetap mampu memahami kebenaran.
Kesehatan mental — dalam konteks ini — menjadi bagian dari ibadah, karena dengan akal dan jiwa yang sehat, seseorang mampu beribadah dan berpikir secara jernih.
Tekanan sosial di dunia digital sering kali lebih berat daripada yang terlihat.
Kita berlomba menampilkan versi terbaik dari diri, tapi di sisi lain menyembunyikan kelelahan dan keresahan.
Di sinilah nilai spiritualitas Islam memberi ruang penyembuhan: mengingatkan bahwa manusia tidak diciptakan untuk selalu sempurna, melainkan untuk terus belajar memahami diri.
Ketenangan bukan datang dari pengakuan dunia maya, melainkan dari kesadaran bahwa setiap manusia memiliki batas — dan batas itu bukan kelemahan, melainkan bagian dari kemanusiaan yang Allah kehendaki.
Kesehatan mental bukan hanya urusan pribadi, melainkan juga tanggung jawab spiritual.
Rasulullah ï·º pernah mengingatkan bahwa hati adalah pusat dari segala kebaikan; bila ia baik, maka seluruh diri menjadi baik pula.
Merawat pikiran, menenangkan hati, dan mencari keseimbangan hidup — semua itu adalah bentuk nyata dari ibadah yang sadar dan lembut.