Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Saya, Sunday League Football, dan Sulitnya Bermain Sepak Bola di Eropa

5 Oktober 2019   14:28 Diperbarui: 5 Oktober 2019   16:03 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dreamteamfc.com

Menjadi pemain profesional di Benua Eropa tentu menjadi mimpi hampir semua pemain sepak bola di seluruh belahan dunia, tak terkecuali pemain asal Indonesia. Jika berbicara siapa saja pemain Indonesia yang berhasil menembusnya, ada beberapa nama top. Terkini, Egy Maulana Vikri menjadi sosok yang diperbincangkan.

Egy bergabung dengan klub di kasta tertinggi Liga Polandia, Lechia Gdansk. Bermain di tim lapis kedua, yaitu Lechia Gdansk II, Egy cukup rutin tampil dan telah mencetak dua gol musim ini per 29 September 2019. Sebuah tren yang baik meskipun Egy belum sepenuhnya mampu menembus tim utama Lechia.

Beberapa pihak meramalkan Egy bisa memberikan pencapaian lebih dibandingkan para pendahulunya. Sebut saja Kurnia Sandy dan Kurniawan Dwi Yulianto yang pernah bergabung dengan Sampdoria (Italia).

Namun baik Sandy dan Kurniawan gagal mempertontonkan kemampuannya. Kurniawan yang sempat dipinjamkan ke klub Swiss, Luzern, juga gagal menunjukkan ketajamannya di sana.

Bima Sakti di Swedia dan Bambang Pamungkas di Belanda, pun mengalami persoalan yang sama. Deretan pemain muda lain, yang kebanyakan merupakan satu angkatan di timnas U-19, Syamsir Alam, Alfin Tuasalamony, Manahati Lestusen, Yandy Sofyan di Belgia, juga cepat kembali ke Indonesia karena tak mampu bersaing.

Mungkin masih ada beberapa nama pemain lagi yang belum saya sebut, tapi saya harap pembaca sudah memahami poinnya.

Merujuk dari beberapa artikel yang membahas tentang penyebab kegagalan pemain kita berkarier di benua biru, kebanyakan menyebutkan faktor kegagalan adaptasi dengan lingkungan yang menjadi penyebabnya. Tapi benarkah itu?

Dalam tulisan ini saya mungkin bisa memberikan sedikit gambaran. Ini bermulai ketika tiga tahun lalu, di tahun 2016 saya mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah di Nottingham, United Kingdom (UK).

Long story short, saya dikontak oleh seseorang yang kemudian saya ketahui adalah manajer dari klub sepakbola anggota Sunday League Football di UK, Nottingham City Community (NCC).

Sampai sekarang saya heran bagaimana Ia bisa menghubungi dan tahu saya bermain sepak bola. Mungkin itu hasil keponya melihat foto-foto di media sosial saja, atau mungkin hanya kebetulan, tak ada yang tahu. Tapi tak apa, karena bukan itu poinnya.

Setelah saya menyetujui untuk bergabung, mengikuti sesi latihan NCC, melalui proses komunikasi dan mengumpulkan informasi, latihan akan dilaksanakan pada tanggal 10 November 2016 pukul 20.00 waktu Nottingham.

Setengah jam sebelum waktunya, saya berangkat menuju Forest Recration Ground 4G pitch. Sebagai informasi, 4G pitch merupakan kepanjangan dari 4 grass pitches yaitu lapangan dengan rumput sintetis tapi tanpa perlu diberikan tambahan bahan pendukung lainnya seperti karet.

Rumput sintetis yang masih memerlukan bantuan potongan-potongan karet untuk mendukung performanya disebut dengan 3G pitches. 4G pitches merupakan pengembangan teknologi baru dan belum mulai diadaptasi sebagai rumput resmi cabang olahraga tertentu, yang saat ini masih menggunakan 3G pitch, seperti rugby atau sepak bola.

Sebagai informasi tambahan, lapangan ini ternyata dibangun oleh The FA, PSSI-nya Inggris, dan pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah setempat. Kira-kira, sudah ada program seperti ini belum ya yang dilakukan oleh PSSI? Saya tak tahu.

Singkat cerita, para pemain NCC telah berkumpul. Setelah berkenalan, ternyata mereka berasal dari negara yang berbeda. Ada yang berasal dari Jerman, Polandia, dan Denmark. Selebihnya merupakan anak kampung sini, dari Nottingham.

Berbicara postur, sudah pasti berbeda dibandingkan saya, bukan soal saya sudah agak buncit perutnya, tapi tinggi badannya. Mereka jauh menjulang dibandingkan saya. Dari sini saja mental sudah mulai diuji.

Setelah briefing disampaikan oleh sang manajer, latihan dimulai dengan berlari memutari lapangan beberapa kali, lalu melakukan passing. And guess what, hampir semua passing dan shot saya melenceng. Saya bukan pemain bola yang hebat-hebat amat, tapi saya juga yakin tidak seburuk itu. Artinya ada yang salah dengan ini.

Setelah saya telusuri, hal pertama adalah mental. Beban untuk menunjukkan bahwa saya mampu, dan beban melihat betapa kerennya pemain-pemain lain, ternyata berkombinasi menjadi beban yang sangat berat.

Kedua, kondisi lingkungan. Karena latihan dilakukan pukul 8 malam, kadar oksigen yang ada lebih sedikit jika dibandingkan dengan saat siang hari tentu menjadi masalah. Ketika itu bulan November, suhu udara tidak pernah lebih dari 5 derajat, dan saat itu jika saya tidak salah, 3 derajat celcius.

Bagaimana rasanya bagi manusia tropis seperti kita? Ternyata badan terasa sangat kaku. Boro-boro bisa bermanuver, untuk menjaga agar lari tetap lurus pun sangat sulit.

Lalu, hal menarik lain yang saya temui ketika itu adalah saat simulasi permainan dimulai. Manajer yang sudah tahu preferensi posisi saya sebagai striker justru menempatkan saya sebagai bek, berduet dengan si Jerman menjaga pertahanan bersama si Denmark.

Kecanggungan posisi ini ternyata bergabung bersama dua beban yang sudah saya ceritakan sebelumnya yang memberikan dampak luar biasa dalam permainan saya. Satu kata, amburadul. Gagal mengumpan dengan benar, terpeleset, gagal beradu sprint dengan penyerang lawan, dan beberapa hal bodoh lain yang saya lakukan.

Si Jerman dan Si Denmark berusaha tidak menampakkan kekesalan mereka, tapi saya tahu mereka bertanya-tanya, "Dari mana asal pemain ini?"

Secara singkat, saya tahu saya kalah kelas dari mereka semua. Ya ternyata memang tidak ada satu pun pemain asal Asia di situ. Bahkan beberapa dari mereka saya yakin memiliki kemampuan yang lebih baik daripada pemain asing yang bermain di Liga Indonesia saat ini.

Tidak mengherankan memang, Raheem Sterling (Manchester City), Marcus Rashford (Manchester United), dan pemain Inggris lainnya juga merupakan jebolan dari Sunday League Football di awal kariernya sebelum masuk ke tim junior klub dan dikontrak secara profesional.

Menariknya, setelah latihan usai, sang manajer mendatangi saya dan menyapa dengan hangat. Ia berharap bertemu saya lagi di pertandingan hari Sabtu dan di latihan-latihan selanjutnya. Tidak ada reviu permainan saya yang saya perkirakan akan keluar dari mulut sang manajer. Saya justru bingung.

Sepanjang jalan menuju rumah, saya mencoba mengingat lagi yang terjadi di lapangan tadi, bagaimana saya bermain.

Melompat ke hari Sabtu, the matchday, pertandingan akan dilaksanakan pukul 2 siang. Asisten manajer mengontak saya, mengingatkan saya untuk datang. Dan saya memutuskan tidak datang. Saya melupakan NCC, saya tidak bisa bersaing. "Buat apa lagi?" yakin saya ketika itu.

Setelah itu, saya masih sering dihubungi oleh NCC, menanyakan kapan saya bisa mulai bergabung lagi dengan tim.

Bahkan di bulan Mei 2017, beberapa bulan setelah saya menghilang, mereka masih menghubungi saya, mengajak bergabung dengan tim untuk bermain di sebuah cup yang mempertandingkan klub-klub lokal Nottingham, dan bermain di The City Ground, kandang klub terkemuka, Nottingham Forest.

"I am really sorry mate, I can't join the team," jawab saya.

Saya lebih memilih bermain fun football dengan teman-teman saya sesama anak kuliah yang berasal dari Indonesia, bermain sepak bola tanpa beban dan saya merasa kemampuan saya sesuai di level ini.

Dari cerita saya ini, apa benang merahnya dengan para pemain profesional kita yang juga gagal bermain di Eropa?

Dalam versi saya, adalah mentalitas untuk berjuang. Saya menilai diri saya sendiri tidak mampu dan memilih berhenti untuk berjuang, di saat manajernya pun masih memberikan peluang karena percaya.

Nah, para pemain yang saya sebutkan di atas tadi, berdasarkan data, kebanyakan hanya bertahan satu sampai dengan dua tahun di Eropa, dan memilih kembali ke Indonesia untuk menjadi bintang di negaranya sendiri.

Namun kembali lagi, setiap orang punya standar mimpinya sendiri. Beberapa mungkin tidak menyesal kembali ke Indonesia, untuk menjalani karier yang baik di negeri sendiri, daripada terseok-seok menjalani karier yang berat di Eropa.

Jika suatu saat nanti, menjadi pemain sepak bola di Eropa merupakan suatu standar bagi pemain Indonesia, mungkin akan jadi lain cerita. Oh iya, cerita saya ini cerita nyata lho ya, kalo ada yang tidak percaya saya bisa kasih buktinya, meskipun saya rasa bukan itu poin pentingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun