Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rieke

6 Juni 2017   23:17 Diperbarui: 6 Juni 2017   23:20 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rieke Diah Pitaloka (tengah) membahas tentang Pancasila di Museum Kebangkitan Nasional, 6 Juni 2017. (Foto; BDHS)

Rieke Diah Pitaloka, artis film yang kemudian menjadi anggota DPR mengakui bahwa sejumlah keputusan DPR belum mengikuti azas musyawarah untuk mufakat, sebagaimana disebutkan dalam sila ke-4 Pancasila. Dalam sila ke-4 itu disebutkan, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".

Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah peserta diskusi "Politik Kebangsaan Soekarno" yang diselenggarakan Museum Kebangkitan Nasional di Jakarta itu, keputusan-keputusan DPR lebih banyak dengan voting atau berdasarkan suara terbanyak. Jarang sekali diupayakan keputusan diambil dengan cara musyawarah dan mufakat.

Rieke yang pernah terkenal dengan perannya sebagai Oneng, perempuan lugu dalam sinetron Bajaj Bajuri, kali ini tampil tidak lugu, melainkan cukup berapi-api. Dia mengungkapkan seharusnya Pancasila yang digali oleh Bung Karno benar-benar menjadi azas dalam menjalankan kehidupan bernegara di Republik Indonesia. Sayangnya, diakui oleh Rieke, keputusan-keputusan DPR di mana dia juga menjadi salah satu anggotanya, belum banyak yang dihasilkan dengan cara musyawarah dan mufakat sebagaimana tercermin dalam Pancasila.

Acara yang diadakan bertepatan dengan hari lahir Bung Karno pada 6 Juni itu, dibuka Kepala Museum Kebangkitan Nasional, R. Tjahjopurnomo, menampilkan Rieke yang membahas "Pancasila Sumber Politik Kebangsaan Bung Karno". Di bawahnya ada tercantum tulisan 5 3 1. Maksudnya dari Pancasila yang merupakan 5 sila, bila diperas menjadi 3 sila atau Trisila, yaitu sosio nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan. Bila diperas lagi, menjadi 1 sila atau Eka Sila.

"Eka sila adalah gotong royong, dan inilah inti dari Pancasila. Gotong royong merupakan paham yang dinamis, menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan bersama-sama," ujar Rieke, yang ditambahkannya, "Semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua, holopis kuntul baris buat kepentingan bersama".

Bung Karno mengambil filosofi burung kuntul yang walaupun hanya unggas, mampu berbaris bersama dan terbang pun bersama-sama menuju satu tujuan. Filosofi yang harus ditiru seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama bekerja menuju tujuan bersama.

Indonesia Menggugat

Selain Rieke, pembicara lainnya adalah Peter Kasenda. Doktor sejarah ini terkenal banyak menulis buku tentang Soekarno. Kali ini, Peter menampilkan makalah berjudul "Membaca Ulang Teks Soekarno -- Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme". Judul itu diambil dari tulisan Bung Karno ketika dia masih berusia 25 tahun.

Buku-buku karya Peter Kasenda tentang Soekarno. (Foto: BDHS)
Buku-buku karya Peter Kasenda tentang Soekarno. (Foto: BDHS)
Pada penghujung 1926 atau tiga bulan setelah Bung Karno menyelesaikan studinya di THS, suatu sekolah tinggi teknik yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung, Bung Karno menulis di Soeloeh Indonesia Moeda, suatu majalah kelompok studi umum Bandung, tulisan yang berjudul "Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme".

Tulisan tersebut kemudian disambung dengan tulisan-tulisan lainnya. Sampai yang terkenal kemudian adalah pidato pembelaan Soekarno yang berjudul "Indonesia Menggugat" atau dalam Bahasa Belanda disebut Indonesi Klaagt Aan. Pidato itu adalah pembelaan Soekarno yang ditulisnya di Penjara Banceuy, Bandung, karena Bung Karno dianggap melawan kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Walaupun di banyak catatan dituliskan Soekarno membacakan pidato pembelaan itu pada 2 Desember 1930, tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa demikian panjangnya pidato Bung Karno, sampai dibutuhkan dua hari, 1 dan 2 Desember 1930, bagi Soekarno untuk menyelesaikan pidatonya. Demikian memukaunya pidato itu dan juga pidato lainnya yang berisikan pemikiran-pemikiran Bung Karno, sampai menurut Peter Kasenda, di antara para pemikir modern Indonesia, Soekarno adalah yang terpenting dan terbesar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun