Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Jalan Kebudayaan” dari World Culture Forum 2016

21 Oktober 2016   15:08 Diperbarui: 21 Oktober 2016   15:21 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster World Culture Forum 2016. (Foto: Panitia WCF 2016)

World Culture Forum (WCF) 2016 yang diselenggarakan di Nusa Dua Convention Centre, Bali, 10-14 Oktober 2016 sudah usai. Di akhir acara telah dibacakan “Deklarasi Bali” yangt intinya meminta kepada masyarakat dunia untuk lebih memperhatikan kebudayaan sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan berkelanjutan.

Dihadiri oleh 1307 peserta dari 63 negara, belum lagi ditambah panitia penyelenggara maupun panitia lokal dari Bali sendiri, acara ini berjalan cukup baik. Selain simposium-simposium ilmiah yang menampilkan sejumlah narasumber yang bernas, WCF 2016 juga dimeriahkan dengan suatu karnaval budaya yang menampilkan tari dan musik bukan hanya dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga tari dan musik tradisional dari mancanegara.

Dalam jumlah yang terbatas, peserta juga diajak meninjau Subak, sistem pengairan atau irigasi sawah di Bali. Keberadaan Subak memang bukan semata sebagai produk teknologi tepat guna, tetapi juga dilandasi oleh budaya lokal yang dikembangkan melalui adat istiadat, menghasilkan suatu produk teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan. Tak heran bila Subak juga ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang patut dipertahankan.

Peserta juga diajak mengunjungi Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma di kawasan Ubud. Di sini pun, peserta diajak mengenal dan memahami keberagaman budaya yang ada. Penampilan seni pertunjukan yang disuguhkan bukan hanya dari Bali saja, tetapi juga seni pertunjukan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.

Secara keseluruhan, para peserta yang mengikuti WCF 2016 menikmati acara itu dengan baik. Pesertanya sendiri terdiri dari peserta undangan (invited participant) dan peserta publik (public participant). Untuk yang disebut terakhir, para calon peserta publik diminta untuk menulis esai dalam Bahasa Inggris minimal 500 kata. Esai-esai yang masuk kemudian dinilai oleh suatu tim penilai yang dibentuk Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Tercatat 100 peserta publik dalam negeri (national public participant) dan 100 peserta publik internasional (international public participant) yang terpilih mengikuti WCF 2016, berdasarkan skor penilaian karya esai yang dikirimkan. Untuk 10 peserta dengan nilai tertinggi, baik dalam negeri maupun peserta internasional, diberikan penggantian ongkos transportasi. Sementara untuk seluruh peserta publik mendapat fasilitas akomodasi dan konsumsi selama di Bali, serta uang saku yang diberikan di akhir acara.

Walaupun setiap peserta publik menulis esai, namun ternyata itu hanya menjadi syarat keikutsertaan dalam WCF 2016. Pada simposium-simposium yang diselenggarakan, tidak dibahas esai peserta publik. Pada saat itu, hanya para narasumber terpilih yang menyampaikan pemikiran mereka, kemudian dibahas bersama dalam simposium.

Lalu ke mana esai-esai karya peserta publik setelah WCF 2016 usai? Mengingat yang menjadi peserta amat beragam latar belakang pendidikan, minat, dan komunitas yang diikuti, sebenarnya sangat menarik bila Direktorat Jenderal Kebudayaan dapat menerbitkan esai-esai tersebut. Setidaknya ada 100 esai karya peserta publik dalam negeri ditambah 100 esai karya peserta publik internasional. Itu saja sudah bisa menjadi satu buku tersendiri yang cukup tebal.

Mengingat ada enam sub tema, sebagaimana ada enam simposium dalam WCF 2016, maka pemuatannya dalam satu buku juga dapat dikelompokkan ke dalam enam sub tema yang ada. Keenam sub tema itu adalah “Menghidupkan Kembali Budaya untuk Keberlanjutan Pedesaan”, lalu “ Air untuk Kehidupan: Pertumbuhan Rekonsiliasi Sosial Ekonomi dan Etika Lingkungan”,  dan “Jalinan Sejarah, Ruang Kota dan Gerakan Budaya”. Sub tema berikutnya adalah  “Budaya di Dunia Digital Baru”, lalu “Mendamaikan Negara, Masyarakat dan Perbedaan Budaya”, serta “Keberagaman Budaya untuk Pembangunan yang Bertanggung Jawab”.

Dibandingkan narasumber, pembanding, dan moderator dalam simposium yang terdiri dari nama-nama besar di dunia kebudayaan dan bidang lainnya, esai-esai yang dibuat para peserta publik mungkin tak seberapa isinya. Tetapi biar bagaimana pun tetap menarik untuk dibaca, dan akan menjadi sayang bila hanya ditumpuk saja di dalam komputer atau cetakannya ditumpuk di pinggir ruang kantor.

Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, ketika menjadi pembicara kunci dalam WCF 2016 menekankan pentingnya “Jalan Kebudayaan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun