Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Damai dan Harmoni dari Ridwan Kamil, Nyoman Nuarta, dan Arief Aziz

11 Oktober 2016   21:55 Diperbarui: 12 Oktober 2016   07:31 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ridwan Kamil (tengah, berkacamata) dikelilingi peserta World Culture Forum 2016 yang mengajaknya berfoto bersama. Di belakang tampak Arief Aziz (baju hitam, berkacamata). (Foto: BDHS, 2016)

Damai’ dan “harmoni” merupakan dua kata penting yang diucapkan dalam simposium bertajuk “Interweaving History, Urban Space and Cultural Movement”, salah satu dari tiga simposium utama World Culture Forum (WCF) 2016 yang diadakan di Bali Nusa Dua Convention Centre, pada Selasa, 11 Oktober 2016. Kegiatan WCF itu sendiri berlangsung dari 10 sampai 14 Oktober 2016.

Tiga pembicara yang tampil adalah Nyoman Nuarta, perupa asal Bali yang menetap di Bandung, lalu Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, dan Arief Aziz, Direktur Kampanye Change.org Indonesia. Ketiganya beberapa kali mengucapkan kedua kata tersebut, “damai” dan “harmoni”.

Nyoman Nuarta misalnya, mencontohkan keberadaan taman-taman budaya dapat membantu membuat dunia menjadi lebih baik. Sementara Ridwan Kamil malah menyebutkan bahwa dia sempat berpikir menjadi lebih modern berarti menjadi damai. Tetapi ternyata tidak demikian keadaannya.

Sedangkan Arief Aziz yang berbicara atas nama Change.org, suatu situs web yang memberikan kesempatan kepada orang biasa untuk membuat petisi agar unek-unek, keluhan, dan kritik mereka didengar oleh pihak yang diberi petisi mengatakan, damai dan harmoni adalah unsur penting agar orang berani bersuara, berani berekspresi menyatakan pendapatnya.

Penulis foto bersama perupa terkemuka Indonesia, Nyoman Nuarta (kanan). (Foto: BDHS, 2016)
Penulis foto bersama perupa terkemuka Indonesia, Nyoman Nuarta (kanan). (Foto: BDHS, 2016)
Dalam acara yang dipandu oleh sastrawan Eka Budianta itu, Nyoman Nuarta mengemukakan pula bahwa dalam beberapa dasa warsa terakhir ini, kita – maksudnya Indonesia – hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi. Tapi bagaimana masyarakat di sekitar kita dapat lebih bahagia dan harmonis, seharusnya adalah dengan memberdayakan masyarakat bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga hal-hal lain seperti pemahaman dan wawasan tentang seni dan budaya.

Hal senada juga diungkapkan Ridwan Kamil. Dikatakannya di masa Orde Baru, perkembangan berarti ekonomi. Padahal pembangunan seharusnya tidak melulu tentang ekonomi, tetapi juga hal-hal lain. Dia misalnya mencontohkan Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di tempat itu ada “hutan larangan” yang warga tak berani menebang dan menghancurkan hutan. Tetapi di masa modern, di mana-mana orang diajak harus berfikir logis, bukan tak mungkin keberadaan hutan tersebut menjadi bisa terdesak atas nama pembangunan. Itulah sebabnya, Ridwan Kamil mengharapkan agar semua pihak juga membantu melestarikan hukum-hukum adat.

Sedangkan terkait dengan damai dan harmoni, Wali Kota Bandung itu mengungkapkan dalam kata-kata “silih asih, silih asah, dan silih asuh”. Artinya ada rasa kasih saying, saling menghargai, dan saling membantu mengembangkan bersama. Dia bahkan menekankan, manakala sikap saling menghargai tidak lagi dianggap penting, pada saat itu jugalah situasi menjadi berbahaya.

Masalah demokrasi saat ini, tutur Ridwan Kamil, adanya tirani mayoritas yang kurang terdidik yang dapat menimbulkan sikap fundamentalis dan keinginan hanya satu saja yang dibolehkan. Padahal menghargai keberagaman, menghargai pruralisme, adalah hal penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Hampir mirip dengan itu, Arief Aziz juga mengungkapkan bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” atau bersatu dalam keberagaman itu tidak ada “tapinya”. Tidak bisa kita mau bersatu, tapi …. Atau kita mau menerima orang lain, tapi ….

Shabaz Khan, Direktur UNESCO Indonesia (kanan) sedang difoto dengan dua peserta WCF 2016. (Foto; BDHS, 2016)
Shabaz Khan, Direktur UNESCO Indonesia (kanan) sedang difoto dengan dua peserta WCF 2016. (Foto; BDHS, 2016)
“Digital world’ dewasa ini bisa dibilang bagaikan memberi mikrofon kepada semua orang. Kita harus membiasakan mendengar pendapat pribadi tanpa harus menjadi benci. Contohnya, saat seseorang membuat petisi, mungkin kita tidak setuju. Kita bisa berseberangan pendapat dengan petisi itu, dan hal itu wajar. Namun jangan sampai perbedaan pendapat menjadikan kita bertengkar.

“Tidak harus pendapatnya sama semua, namun orang harus diajak untuk menjadi berani dalam berpendapat,” tutur Arief.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun