Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

SBY, Denny Siregar, dan Dirjenbud Bicara Museum

10 Februari 2017   07:59 Diperbarui: 10 Februari 2017   08:49 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)

Tidak Betah

Sepinya museum di Indonesia memang patut dipertanyakan. Bila dilihat dari harga tiket masuk, museum-museum di Indonesia terutama yang milik pemerintah,  harga tiket masuknya umumnya terbilang amat murah. Memang, ada beberapa museum swasta yang harga tiket masuknya cukup mahal. Tapi anehnya, justru yang tiketnya mahal dari pengamatan, pengunjungnya lebih banyak. Sementara yang tiketnya murah, jarang dikunjungi.

Sejumlah pengunjung di MNI. Bagian museum ini kini sedang ditata ulang. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Sejumlah pengunjung di MNI. Bagian museum ini kini sedang ditata ulang. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Ada beberapa hal yang dapat dibahas mengenai fenomena ini. Pertama, harga tiket masuk sepadan dengan isi museum. Bukan sekadar isi berupa benda-benda koleksi yang ada, tetapi secara keseluruhan. Bentuk bangunan, pelayanan, sarana informasi, dan sebagainya. Termasuk keberadaan sarana interaktif yang tampaknya mau tidak mau kini harus selalu tersedia di museum-museum. Orang mau datang ke suatu tempat, bila dia dapat berinteraksi. Bukan hanya menonton satu benda dan pindah menonton benda berikutnya.

Kedua, suasana atau sering disebut juga “aura” museum harus membawa orang yang datang ke dalamnya, menjadi tenang, aman, dan berbahagia. Seperti ketika kecil kita yang biasa tinggal di perkotaan lalu berlibur pergi ke rumah kakek dan nenek di desa, disambut gembira dan bisa merasakan suasana pedesaan yang asri, tenang, penuh kehijauan, berbeda dengan suasana kota yang penuh polusi dan macet di mana-mana.

Ketiga, bisa jadi juga memang benar yang dikatakan Dirjenbud Dr. Hilmar Farid. Museum merupakan tempat yang menggambarkan kemajemukan, seperti di MNI misalnya. Banyak koleksi yang menggambarkan dua atau lebih agama, suku, dan ras, menyatu menghasilkan sesuatu yang indah. Manakala orang menjadi sektarian atau lebih senang bergabung dengan kelompoknya saja, maka keberadaan museum terasa aneh dan mengusik ketenangan orang tersebut. Cara terbaik bagi orang seperti itu adalah menghindari museum.

Harus Ada “Kasus”?

Di luar itu, yang tampaknya patut dicatat, khususnya dari pernyataan SBY dan Denny Siregar, adalah kesan bahwa museum itu semacam gudang untuk menyimpan sesuatu atau menyingkirkan barang yang saat ini dianggap sudah tak perlu, tetapi masih merasa sayang untuk dibuang. Menyimpan “kesantunan” dan menyingkirkan “budaya kita” ke dalam museum.

Museum tidak hanya menyimpan. Setelah dikumpulkan, dilestarikan, dan diteliti, benda-benda yang ada di dalam museum, kembali dikomunikasikan kepada masyarakat, antara lain lewat pameran-pameran dan publikasi koleksi museum. Bisa publikasi secara konvensional, dan tentu saja pada masa kini yang juga dianjurkan adalah publikasi koleksi museum dengan kekinian, sepeerti misalnya menggunakan berbagai piranti lunak yang dihubungkan dengan akses internet.

Sayangnya, publikasi tentang museum pun masih kurang diminati. Pengalaman beberapa teman yang menulis tentang museum di Kompasiana misalnya, jumlah pembacanya terbatas. Walau pun telah dijadikan tulisan “Pilihan” dan bahkan “Headline”, untuk menembus angka 1.000 kali dibaca saja sangat sulit.

Agaknya dari pengamatan, yang sukses meraih banyak pembaca adalah tulisan tentang museum kalau dikaitkan dengan “kasus”, seperti tulisan berjudul “Berita Bohong, Tak Ada Pameran Budaya Arab di Museum Nasional” yang bisa dibaca di sini. Cepat sekali mencapai angka hampir 19.000 kali dibaca.

Lalu, apakah harus ada “kasus” dulu baru museum bisa ramai kembali?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun