Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perjuangan "The Last Boy Scout" Menuju Jambore Kepanduan Sedunia Tahun 1937

3 Desember 2016   22:33 Diperbarui: 4 Desember 2016   01:19 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ama Soewarma dengan salam Pandu. (Foto: ISJ)

Para penggemar film eksyen Hollywood, terutama yang mengidolakan Bruce Willis, mungkin masih ingat film yang dibintangi aktor itu pada 1991. Film yang disutradarai Tony Scott itu berjudul The Last Boy Scout, yang bila diterjemahkan secara bebas berarti “Pandu (Putera) Terakhir”.

Siapa sangka di Indonesia ternyata ada The Last Boy Scout dalam arti nyata. Dia adalah H. Ama Soewarma yang dilahirkan di Cibatu, Garut, pada 3 Desember 1916. Berarti tahun ini, beliau genap berusia 100 tahun. Suatu pencapaian luar biasa bagi usia seorang manusia.

Anak ketujuh dari 8 bersaudara dari pasangan Mas Oetjik dan istinya Nyi Ningroem, konon kabarnya dilahirkan di atas kereta api, ketika orangtuanya hendak berkunjung ke kakaknya di Garut. Orangtua Soewarma sendiri tinggal di Gang Simcong (sekarang Jalan Adibrata) di Bandung, Jawa Barat.

Soewarma memang seorang Pandu yang dalam Bahasa Inggris pada zamannya disebut Boy Scout, walaupun sekarang disebut Scout saja, karena kepanduan pun telah menerima anggota puteri. Dia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), suatu sekolah Belanda untuk bumiputera. Soewarma kemudian melanjutkan pendidikannya secara khusus di Sekolah Dagang Douwes Dekker.

Pendidikannya itu amat berguna ketika dia menjadi pengusaha. Tercatat antara lain Soewarma mengelola PT Permorin (kongsi agen Mercedes dan Mitsubishi), lalu biro perjalanan PT Sari Express, dan objek wisata air panas di Cipanas, Ciater, jawa Barat, melalui perusahaannya PT Sari Ater.

Soewarma
Soewarma
Di bidang kepanduan, Soewarma telah aktif menjadi anggota sejak usia 8 tahun. Keaktifannya itu jugalah yang membawanya pergi ke Belanda, mengikuti Jambore Dunia Kepanduan ke-5 di Vogelenzang, pada 1937. Saat itu, Soewarma dan teman-temannya dari Nederlandsch-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) mewakili Kepanduan Hindia-Belanda.

Kontingen Hindia-Belanda itu terdiri dari berbagai ras, suku, dan agama. Ada para Pandu yang memang anak-anak Belanda, ada keturunan Tionghoa, Arab, dan kaum bumiputera yang juga terdiri dari beberapa suku bangsa. Ada Sunda, Jawa, Maluku, Sumatera, dan banyak lagi. Agama yang dianut para anggota kontingen Kepanduan Hindia-Belanda juga bermacam-macam. Ada yang beragama Kristen (Protestan), Islam, dan Katholik.

Tetapi walaupun beragama ras, suku, dan agama, dan pastinya beragam latar belakang ekonomi keluarganya, semuanya bisa menyatu dalam kontingen Kepanduan Hindia-Belanda. Mereka bahkan membawa sendiri peralatan untuk membangun rumah pendopo tradisional Indonesia di Belanda. Ketika upacara pembukaan pun, kontingen Hindia-Belanda menyerahkan kenang-kenangan berupa keris Majapahit kepada Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell.

Kontingen Kepanduan Hindia-Belanda berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (sekarang Jakarta), dengan menumpang kapal MS Dempo. Ada kisah unik yang diceritakan Soewarma ketika naik kapal itu.

Sebelumnya, untuk mencari biaya agar dapat berangkat ke Belanda, Soewarma melakukan banyak hal. Dia sempat berjualan garam di depan rumahnya. Otak dagangnya sudah bekerja. Untuk membedakan dengan garam yang dijual di pasar, dia membuat tulisan “Garam Bagoes”, walaupun sebenarnya jenis garamnya sama saja dengan di pasar. Dia juga mengemas dagangannya dengan baik dan melayani pembeli dengan ramah, sehingga garam yang dijualnya cepat laku terjual.

Sampul khusus Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 lengkap dengan prangko jambore tersebut terbitan Hindia-Belanda. (Foto: BDHS)
Sampul khusus Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 lengkap dengan prangko jambore tersebut terbitan Hindia-Belanda. (Foto: BDHS)
Bukan hanya itu. Saat itu, Dinas Pos dan Telegraf Hindia-Belanda juga menerbitkan prangko untuk menyambut Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 itu. Terdiri dari dua keping prangko, masing-masing berharga 7 ½ sen dan 12 ½ sen, prangko itu memang diterbitkan juga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan memberangkatkan kontingen Kepanduan Hindia-Belanda. Soewarma pun ikut menjualnya, dan hasilnya digunakan untuk biaya keberangkatannya bersama teman-temannya.

Namun, rupanya biaya yang dimiliki Soewarma masih kurang. Maka dia menemui kepala koki di kapal laut MS Dempo. Selain pintar berdagang, rupanya Soewarma juga pandai memasak. Dia menawarkan keahliannya untuk menjadi pembantu koki, sehingga akhirnya biaya untuk berangkat ke Belanda mencukupi dan Soewarma pun bisa ikut Jambore Kepanduan Sedunia ke-5.

Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell (kiri), bersama Ratu Wilhemina dari Belanda, saat upacara pembukaan Jambore Kepanduan Sedunia ke-5. (Foto: Istimewa)
Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell (kiri), bersama Ratu Wilhemina dari Belanda, saat upacara pembukaan Jambore Kepanduan Sedunia ke-5. (Foto: Istimewa)
Suatu jambore yang tercatat dalam sejarah, sebagai jambore dunia pertama yang dihadiri peserta dari Indonesia (ketika itu masih bernama Hindia-Belanda). Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 itu juga merupakan jambore dunia terakhir yang dihadiri oleh Baden-Powell, karena beliau kemudian meninggal dunia pada 1941, dan sekaligus jambore dunia terakhir sebelum pecahnya Perang Dunia II pada 1942. Jambore Kepanduan Sedunia berikutnya baru diadakan setelah Perang Dunia II usai, yaitu di Prancis pada 1947.

Begitulah kisah Soewarma yang direkam para anggota Indonesia Scout Journalist, R. Andi Widjanarko, Mia Damayanti Sjahrir, dan Adi Rachmatullah, ketika mereka berkunjung ke kediaman Soewarma yang merayakan ulang tahunnya ke-100. Soewarma itulah satu-satunya yang tersisa dari kontingen Kepanduan Hindia-Belanda ke Jambore Kepanduan Sedunia-5 pada 1937.

Jadi tak salah bila disebut bahwa Soewarma itu adalah The Last Boy Scout. Bahkan bisa jadi bukan saja satu-satunya yang tersisa dari Indonesia, tetapi juga dari 28.750 Pandu mewakili 54 negara yang hadir di Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 tersebut. Soewarma sejatinya memang The Last Boy Scout yang kini genap berusia 100 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun