Para penggemar film eksyen Hollywood, terutama yang mengidolakan Bruce Willis, mungkin masih ingat film yang dibintangi aktor itu pada 1991. Film yang disutradarai Tony Scott itu berjudul The Last Boy Scout, yang bila diterjemahkan secara bebas berarti “Pandu (Putera) Terakhir”.
Siapa sangka di Indonesia ternyata ada The Last Boy Scout dalam arti nyata. Dia adalah H. Ama Soewarma yang dilahirkan di Cibatu, Garut, pada 3 Desember 1916. Berarti tahun ini, beliau genap berusia 100 tahun. Suatu pencapaian luar biasa bagi usia seorang manusia.
Anak ketujuh dari 8 bersaudara dari pasangan Mas Oetjik dan istinya Nyi Ningroem, konon kabarnya dilahirkan di atas kereta api, ketika orangtuanya hendak berkunjung ke kakaknya di Garut. Orangtua Soewarma sendiri tinggal di Gang Simcong (sekarang Jalan Adibrata) di Bandung, Jawa Barat.
Soewarma memang seorang Pandu yang dalam Bahasa Inggris pada zamannya disebut Boy Scout, walaupun sekarang disebut Scout saja, karena kepanduan pun telah menerima anggota puteri. Dia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), suatu sekolah Belanda untuk bumiputera. Soewarma kemudian melanjutkan pendidikannya secara khusus di Sekolah Dagang Douwes Dekker.
Pendidikannya itu amat berguna ketika dia menjadi pengusaha. Tercatat antara lain Soewarma mengelola PT Permorin (kongsi agen Mercedes dan Mitsubishi), lalu biro perjalanan PT Sari Express, dan objek wisata air panas di Cipanas, Ciater, jawa Barat, melalui perusahaannya PT Sari Ater.
Kontingen Hindia-Belanda itu terdiri dari berbagai ras, suku, dan agama. Ada para Pandu yang memang anak-anak Belanda, ada keturunan Tionghoa, Arab, dan kaum bumiputera yang juga terdiri dari beberapa suku bangsa. Ada Sunda, Jawa, Maluku, Sumatera, dan banyak lagi. Agama yang dianut para anggota kontingen Kepanduan Hindia-Belanda juga bermacam-macam. Ada yang beragama Kristen (Protestan), Islam, dan Katholik.
Tetapi walaupun beragama ras, suku, dan agama, dan pastinya beragam latar belakang ekonomi keluarganya, semuanya bisa menyatu dalam kontingen Kepanduan Hindia-Belanda. Mereka bahkan membawa sendiri peralatan untuk membangun rumah pendopo tradisional Indonesia di Belanda. Ketika upacara pembukaan pun, kontingen Hindia-Belanda menyerahkan kenang-kenangan berupa keris Majapahit kepada Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell.
Kontingen Kepanduan Hindia-Belanda berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (sekarang Jakarta), dengan menumpang kapal MS Dempo. Ada kisah unik yang diceritakan Soewarma ketika naik kapal itu.
Sebelumnya, untuk mencari biaya agar dapat berangkat ke Belanda, Soewarma melakukan banyak hal. Dia sempat berjualan garam di depan rumahnya. Otak dagangnya sudah bekerja. Untuk membedakan dengan garam yang dijual di pasar, dia membuat tulisan “Garam Bagoes”, walaupun sebenarnya jenis garamnya sama saja dengan di pasar. Dia juga mengemas dagangannya dengan baik dan melayani pembeli dengan ramah, sehingga garam yang dijualnya cepat laku terjual.
Namun, rupanya biaya yang dimiliki Soewarma masih kurang. Maka dia menemui kepala koki di kapal laut MS Dempo. Selain pintar berdagang, rupanya Soewarma juga pandai memasak. Dia menawarkan keahliannya untuk menjadi pembantu koki, sehingga akhirnya biaya untuk berangkat ke Belanda mencukupi dan Soewarma pun bisa ikut Jambore Kepanduan Sedunia ke-5.
Begitulah kisah Soewarma yang direkam para anggota Indonesia Scout Journalist, R. Andi Widjanarko, Mia Damayanti Sjahrir, dan Adi Rachmatullah, ketika mereka berkunjung ke kediaman Soewarma yang merayakan ulang tahunnya ke-100. Soewarma itulah satu-satunya yang tersisa dari kontingen Kepanduan Hindia-Belanda ke Jambore Kepanduan Sedunia-5 pada 1937.
Jadi tak salah bila disebut bahwa Soewarma itu adalah The Last Boy Scout. Bahkan bisa jadi bukan saja satu-satunya yang tersisa dari Indonesia, tetapi juga dari 28.750 Pandu mewakili 54 negara yang hadir di Jambore Kepanduan Sedunia ke-5 tersebut. Soewarma sejatinya memang The Last Boy Scout yang kini genap berusia 100 tahun.